Kamis, 03 Desember 2009

Apa Kabar Teologi dan Para Teolog?

“Ketika kita berpaling kepada para teolog (atau kepada karya-karya teologi) untuk mendapatkan pertolongan dalam memahami suatu hal tertentu, yang menyangkut dengan iman kita, seringkali bukanlah kejelasan yang kita dapatkan, melainkan kita justru akan dibuat menjadi lebih kabur lagi mengenai hal tersebut.” Itu adalah sebuah komentar yang, agaknya, mewakili pandangan sebagian besar orang Kristen sekarang ini, sehubungan dengan teologi (dan para teolog).

Saya, memang, belum pernah membuat survey secara khusus, dengan pertanyaan seperti ini: “Apakah karya-karya teologi dan para teolog itu ada manfaatnya bagi Anda?” Tetapi, saya sangat yakin (berdasarkan pantauan saya selama ini, di banyak sekali tempat/even yang saya hadiri dan dari komentar-komentar orang Kristen yang tercetuskan, yang saya dengar/baca diberbagai kesempatan/media), kalau survey yang seperti itu tadi dilakukan di gereja-gereja dan perkumpukan-perkumpulan Kristen sekarang ini, maka orang-orang (khususnya mereka yang “awam” di bidang teologi) yang memberikan jawaban yang negatif terhadap pertanyaan itu, jumlahnya akan diatas 70%.

Dengan mengemukakan hal yang di atas itu tadi, apakah saya mau mengatakan bahwa saya sendiri adalah seorang yang anti atau, sedikitnya, tidak senang terhadap teologi dan para teolog? Sama sekali bukan begitu. Walaupun, saya memang menyetujui bahwa pandangan yang seperti itu tadi (yang negatif) terhadap teologi (dan para teolog) adalah memang cukup beralasan juga. Mengapa? Sebab, bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan para teolog (dan karya-karya teologi itu) memang sepertinya “tidak menginjak bumi” atau “melambung terlalu tinggi di angkasa”. Tetapi, tentunya pandangan yang seperti itu (terhadap teologi dan para teolog) tidak juga sepenuhnya benar. Lalu, bagaimanakah yang benarnya? Hal itulah yang akan saya share-kan selanjutnya.

Rabu, 02 Desember 2009

Mujizat apa Mujizat?

Hari-hari ini begitu gampangnya orang-orang ngomong tentang mujizat. Mujizat (atau menyebut dan membicarakan tentangnya) menjadi trend di mana-mana sekarang ini. Sedikit-sedikit mujizat; sedikit-sedikit mujizat (padahal, yang sungguh-sungguh merupakan mujizat itu nyatanya sangatlah sedikit yang betul-betul terjadi!). Sandal jepit yang sudah lama nggak kelihatan, eh, tiba-tiba 'nongol' tepat pada saat yang dibutuhkan... itu katanya mujizat. Sembuh dari penyakit tertentu (padahal mengkonsumsi obat juga atau mendapat dorongan/motivasi dari kata-kata sugesti yang tertentu), juga buru-buru di-klaim sebagai mujizat. Saya cuma mau kasih peringatan begini: Kalau yang kita sebut sebagai mujizat itu sudah "digembar-gemborkan" atau sudah "diobral" dengan sedemikian rupa, apakah hal itu nantinya masih ada maknanya?!

Selasa, 17 November 2009

Penghakiman yang Boleh dan yang Dilarang


Pada umumnya kita sudah mengenal frasa yang telah diambil alih dari Alkitab ini, yaitu: "Jangan menghakimi!" Dan, sudah sering kali frasa tersebut digunakan untuk menegur atau mengingatkan orang-orang yang mengemukakan penilaian atau pernyataan yang mengritik atau mengoreksi perilaku dan/atau perkataan dari orang-orang yang lainnya. Tetapi saya juga mendapati bahwa kita, pada umumnya, tidaklah memiliki pemahaman yang jelas dan tegas mengenai frasa yang merupakan sebuah instruksi atau larangan tersebut. Menurut hemat saya, hal itu disebabkan karena kita belum pernah menjawab atau mendapatkan jawaban yang tuntas atas pertanyaan yang berikut ini: Dalam hal apa sajakah instruksi atau larangan ini berlaku atau tepat untuk diberlakukan?

Senin, 16 November 2009

Bab. 3: Penyamun dan Sarang Penyamun



Penyamun. Apakah atau siapakah itu? Pencuri, penodong, perampok, penjahat, bandit, begal dan masih banyak lagi yang lainnya -- itu semua bisa kita masukkan menjadi satu golongan dengannya. Pokoknya, penyamun adalah orang(-orang) yang selalu menjadi pelaku kejahatan. Mereka mencari nafkah dan memenuhi keinginan-keinginan mereka dengan melakukan kejahatan.

Jumat, 13 November 2009

"Rumah Tuhan menjadi Sarang Penyamun" - Bab. 2:





Rumah Tuhan dan sarang penyamun? Lho, kok?! Apa hubungannya? Tetangga bukan, mirip pun tidak! Lalu, kenapa disandingkan begitu? Memang, jika dilihat dengan sepintas, keduanya sama sekali tidak ada hubungannya. Keduanya jelas-jelas berbeda, bahkan begitu bertentangan. Tetapi, itu kalau hanya dipandang dengan sekilas pintas saja. Akan menjadi berbeda, kalau kita mau memeriksanya dengan lebih seksama.

Sebenarnya, segala sesuatu di dalam hidup ini pun begitu juga, tidak ada yang sungguh-sungguh bertentangan sepenuhnya antara satu dengan yang lainnya. Apa yang disebut perbuatan baik, misalnya, juga memiliki sisi-sisi yang buruknya. Dan, sebaliknya, apa yang dikatakan perbuatan jahat, masih ada juga sisi-sisi yang baiknya.

"Rumah Tuhan menjadi Sarang Penyamun" - Bab. 1


Pengantar singkat: Tahun lalu (2008) saya telah menulis dan menerbitkan sendiri (self-publishing) sebuah buku, yang saya beri judul: "Rumah Tuhan menjadi Sarang Penyamun". Dan, sub judul: "Menuju Reformasi Gereja yang Sebenarnya". Terbitan pertama itu terbatas, baik dalam jumlah (hanya 1000 eks.) maupun dalam peredarannya (hanya di kota Medan dan sekitarnya saja). Supaya penyebarannya bisa lebih meluas, sekarang ini saya sedang mencari penerbit yang cocok untuk menerbitkan edisi yang keduanya, yang sudah saya siapkan. (Ternyata, tidak mudah menemukan penerbit Kristiani yang ber-visi luas sekarang ini!). Dan, untuk perkenalan secara on-line-nya, saya akan mem-publish-bab-bab awalnya di blog ini, yang akan saya cicil secara bab demi bab. Selamat membaca dan menerima kegairahan untuk mereformasi gereja-gereja yang ada sekarang ini. GBU.

Mengapa Mengritik?

Terus terang, blog saya ini -- dari awalnya sampai, entah kapan nanti, akhirnya -- akan selalu berisikan kritik-kritik, khususnya yang ditujukan untuk gereja-gereja dan para penyelenggara di dalamnya. Tulisan-tulisan saya yang sudah di-publish sebelumnya (di blog ini),  sudah bisa dijadikan sebagai gambaran akan seperti apakah konten-konten yang selanjutnya nanti yang mengisi blog ini. Karena itu, sebelum beranjak lebih jauh lagi nanti ke depan, saya merasa perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu di sini mengenai: Mengapa saya memilih untuk menjalankan peranan ini, yaitu menjadi "tukang kritik" (terhadap gereja-gereja)?

Ya, mengapa mengritik? Bukankah mengritik itu adalah suatu hal yang negatif? Dan, bukankah mengritik itu adalah ciri dari orang yang tidak rohani dan tanda dari minimnya kasih yang terdapat di dalam diri para pelakunya? Sungguh, saya bisa memahami ungkapan-ungkapan atau pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan keberatan terhadap perbuatan mengritik itu.

Memang, harus diakui bahwa perbuatan mengritik itu seringkali dilihat sebagai perbuatan yang negatif atau lebih kongkritnya: Perbuatan yang kasar atau kejam atau pun angkuh. Nah, kalau saya sendiri sudah tahu seperti itu, lalu kenapa pula saya masih mau juga untuk melakoni peran "antagonis" dan yang sangat tidak populer ini? Jawaban saya untuk itu adalah begini: Akhir-akhir ini, saya menangkap panggilan Tuhan untuk saya, yaitu untuk menyuarakan "suara kenabian" atas gereja-gereja Kristen secara keseluruhan. (Tetapi, saya tidak akan pernah menyebut diri saya sendiri sebagai seorang nabi. Kalaupun, pada suatu hari nanti ada orang yang menyebut saya demikian, itu urusan mereka sendiri).

Sudah saatnya sekarang, khususnya bagi kita semua sebagai orang Kristen, untuk menyadari bahwa "tukang kritik" itu, tidak semuanya sama. Perhatikanlah nabi-nabi di dalam Alkitab (khususnya, yang paling banyak terdapat di dalam Perjanjian Lama), pada umumnya nabi-nabi itu berperan sebagai "tukang kritik" pada zamannya masing-masing. Jadi, ada satu hal yang merupakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi umat Kristen  sekarang ini, yaitu untuk membedakan atau memilah-milah di antara orang-orang yang berperan sebagai "tukang kritik" itu. Dari pengamatan saya sendiri, ada 4 kelompok "tukang kritik" di dalam kekristenan,  yang dapat dan harus kita bedakan, yaitu sebagai yang berikut ini.
  • Orang-orang yang cenderung mengritik segalanya, karena dirinya sendiri sebenarnya sedang "sakit" secara psikologis;
  • Para pengritik awam yang lancang. Mereka ini di sebut "lancang" karena mereka melampaui atau melompati batas-batas yang wajar (dan yang sudah semestinya ada), yang memisahkan antara orang-orang yang ahli di dalam suatu bidang dengan orang-orang yang awam di bidang tersebut.  Mereka terlalu yakin akan pandangan-pandangan/pendapat-penadapatnya sendiri, yang sebenarnya dangkal, masih terlalu mentah, dan belum diuji secara memadai (yaitu sebagaimana yang lazim dilakukan di antara para ahli di bidang study atau keilmuannya masing-masing).
  • Para pengeritik fundamentalis. Mereka ini mati-matian ingin mempertahankan  "doktrin-doktrin" yang telah dirumuskan oleh para tokoh-tokoh pendahulu dari aliran/mazhab mereka itu, yang sangat mereka percayai dan hormati pandangan-pandangan/pendapat-pendapatnya. Doktrin-doktrin itu sudah mereka anggap sebagai "kebenaran" yang absolut, tak terbantahkan, dan tak bisa diganggu-gugat lagi, oleh siapa dan apa pun. Sebab, apa yang sudah dirumuskan oleh tokoh-tokoh mereka di masa yang lampau itu, sudah mereka anggap sebagai  doktrin-doktrin yang "Alkitabiah", dan hal itu, tidak lain, adalah merupakan kebenaran Allah sendiri. Karena itu, apa pun yang berbeda (apa lagi, berlawanan) dengan doktrin-doktrin yang mereka miliki itu, pastilah akan mereka "serang habis-habisan" atau mereka lawan dengan mati-matian (= dengan segala cara, daya dan upaya). Mereka ini bisa bersikap dengan sangat keras, kasar, dan kejam kepada semua orang yang berseberangan pandangan/pendapat dengan mereka. Karena mereka ini sesungguhnya sudah merupakan suatu "wadah yang tertutup", jadi tidak mungkin lagi untuk berdiskusi dengan mereka (walaupun mereka sering juga mengatakan bahwa mereka terbuka untuk berdiskusi dengan siapa saja). "Diskusi" itu hanyalah omong-kosong saja, kalau salah satu atau kedua pihak yang terlibat dari awalnya, memang, sudah beketetapan untuk tidak akan pernah mengubah pandangan/pendapatnya sama sekali.
  • Orang-orang yang mendapatkan panggilan dari Tuhan untuk menjalankan tugas kenabian atau menyuarakan "suara kenabian" bagi umat Tuhan (gereja-gereja Kristen secara keseluruhan). Karena mereka ini dipanggil oleh Tuhan, maka mereka pun mendapatkan kasih karunia dari Tuhan untuk menjalankan tugas tersebut. Karena itulah berbeda, khususnya, dari kelompok yang ketiga tadi, mereka ini, dalam menjalankan tugasnya, yang sekalipun kebanyakan akan mengritik juga, tetap menunjukkan kesantunan, kelemah-lembutan (harus ada perbedaan antara nabi-nabi di dalam PL dan "nabi-nabi" di dalam kekristenan, khususnya di dalam sikap dan pembawaan dirinya) dan, yang terutama, adil atau tidak memihak kepada salah satu golongan/aliran tertentu di dalam kekristenan sekarang ini. Jadi, kritik mereka ini ditujukan kepada umat Kristen atau gereja-gereja secara keseluruhannya. Dan, tujuan dari kritik itu bukanlah untuk membela atau mendukung faham/aliran atau golongan tertentu yang terdapat di dalam kekristenan sekarang ini, melainkan untuk mereformasi gereja-gereja yang ada sekarang ini, secara keseluruhannya.
Nah, demikian sajalah dulu paparan saya mengenai soal "mengapa mengritik?" ini. Kiranya, dengan pemaparan seperti yang dimuat di atas itu tadi, ke depan ini kita semua bisa  membedakan atau memilah-milah di antara para "tukang kritik" yang ada di dalam kekristenan sekarang ini. Dan, kiranya  para pembaca blog saya ini, khususnya, bisa memahami mengapa saya memilih untuk menjalankan peranan yang tadi sudah saya katakan "antagonis" dan tidak populer" ini. Dan, secara lebih luasnya, kiranya dengan penjelasan di atas tadi, umat Kristen (seluruhnya) diperkenalkan terhadap sebuah gerakan kenabian yang baru pada masa kini (berbeda dari yang sudah dikenali sebelumnya), yang sedang dibangkitkan oleh Allah (dengan cara yang calm, slow [but sure!], tidak dengan "grusa-grusu" atau pun dengan gegap-gempita) bagi atau untuk mereformasi gereja-gereja Kristen (secara keseluruhannya) pada masa sekarang ini. Amin.


Sumber: Dikembangkan dari tulisan saya sebelumnya di blog saya yang lain,

Kamis, 12 November 2009

Gereja yang Lebih Baik itu Tidak Ada! Yang Lebih "Mahal", Banyak!

Saya tidak tahu dengan Anda, tetapi saya, sejak menginjak dewasa (dan tidak lagi tinggal dengan orang tua), saya sudah beberapa kali berpindah-pindah (keanggotaan) gereja. Bahkan, sejak menjadi seorang pendeta, saya sudah dua kali ditahbiskan sebagai pendeta di lingkungan organisasi gereja yang berbeda. Tolong jangan salah sangka dulu mengenai apa yang barusan saya kemukakan itu. Sungguh, sama sekali saya tidak bangga dengan hal itu (malahan, sebenarnya saya sangat malu tentangnya, sebab hal itu sama sekali bukanlah sebuah "prestasi", tetapi lebih merupakan "aib" bagi saya). Jadi, saya sebenarnya sedang membuka "aib" saya sendiri, dengan mengungkapkan hal yang di atas itu tadi. Tetapi, bagi saya itu tidak menjadi soal yang berarti, asal saja darinya nanti akan bisa ditarik "hikmah"-nya oleh beberapa orang, sehingga membuat pemahaman dan kehidupan kekristenan mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. (Itulah yang saya yakini akan terjadi melalui pemaparan ini nanti, dan karena itulah saya bersedia melakukannya).

Keadaan gereja-gereja secara umum sekarang ini sangatlah jauh dari baik, apa lagi memuaskan. Hal ini khususnya sangat disadari (dan, karenanya, dirasakan) oleh orang-orang Kristen atau anggota jemaat yang agak "liar" atau tidak mudah untuk "dicekoki" begitu saja atau (saya lebih suka menyebutnya) cenderung berpikir dan bersikap secara mandiri dan kritis. Sedangkan, mereka yang lainnya (yang sudah atau lebih "jinak"! Sayangnya, mereka ini jumlahnya jauh lebih banyak atau yang merupakan kelompok mayoritas) akan mengatakan bahwa keadaan gereja sekarang ini sudah cukup baik (terutama di lingkungan gereja-gereja Injili dan Kharismatik, yang sekarang ini diakui sedang mengalami "pertumbuhan" yang "pesat"). Tetapi, jika ukurannya adalah KEBENARAN (nanti saya akan jelaskan mengenai apa yang saya maksudkan dengan ini), sesungguhnyalah keadaan gereja-gereja (secara keseluruhan) sekarang ini sangat mencemaskan (untuk tidak mengatakan: memalukan).

Apakah yang saya maksudkan dengan KEBENARAN itu tadi? Di sini saya sama sekali tidak bermaksud untuk masuk ke dalam pembicaraan mengenai kebenaran secara teoritis atau dari sisi filosofisnya. Saya memiliki, setidaknya, dua alasan untuk itu, yaitu:  1) Saya tidak cukup berkompeten untuk melakukan hal yang demikian itu, 2) pendekatan yang seperti itu hanyalah akan membawa ke dalam "debat kusir" saja (sebab, kita tahu bahwa pandangan atau teori filsafat itu sendiri begitu beragam dan setiap "school of thought" pasti memiliki asumsi atau presuposisi tertentu  yang dijadikan sebagai titik tolaknya). Karena itulah, saya akan mendekati permasalahan kita di sini hanya secara praktis (bahkan, prakmatis) saja. Yaitu membicarakan kebenaran itu dari sisi atau cara pandang yang secara umum atau dari "kaca-mata" orang kebanyakan saja.

Jadi, apa persisnya yang saya maksudkan dengan KEBENARAN, sehubungan dengan penilaian yang ditujukan kepada (keadaan) gereja itu tadi ialah begini: Sangat banyak hal yang dilakukan oleh (anggota-anggota) gereja-gereja pada masa kini, yang apabila hal-hal itu dinilai dari "kacamata" umum saja pun, akan nyata sekali terlihat keburukan-keburukannya. Yang saya maksudkan itu, antara lain adalah beberapa hal yang akan saya sebutkan sebagai yang berikut ini.

1.  Sikap-sikap yang cenderung anti sosial (khususnya yang termanifestasikan dari kehidupan anggota-anggotanya yang sangat giat dan bersungguh-sungguh). Bisa diperhatikan langsung, khususnya di gereja-gereja baru dan yang besar (jumlah anggota/pengunjungnya) sekarang ini, bahwa mereka yang memiliki toleransi dan kesadaran sosial justru pada umumnya adalah orang-orang yang tergolong (di "cap") kurang aktif atau kurang bersungguh-sungguh. Sedangkan, mereka yang tergolong paling "rohani" pada umumnya cenderung bersikap anti sosial (yang kalau diperiksa, pastilah akan didapati bahwa "emotional-intelligence"-nya dan "social-intelligence"-nya sama sekali tidak berkembang, karena memang tidak pernah atau sangat jarang dipergunakan). Hal ini terjadi, menurut hemat saya, adalah sebagai akibat dari pengajaran gereja yang telalu berfokus pada "kekudusan individual" atau "kekudusan seremonial", bukan pada "kekudusan sosial", sebagaimana yang ditekankan di dalam pengajaran-pengajaran Yesus (mis: Mat 5:13-16).

2.  Pengelolaan keuangan yang tidak transparan. Sebagai suatu badan sosial, gereja itu seharusnya tidak mencari laba, tetapi nyatanya, betapa banyak pendeta-pendeta yang menjadi kaya (berkelimpahan?) dari "'pelayanan sosial"-nya itu!

3.  Sedemikian sering dan kuatnya dorongan yang diberikan untuk mendapatkan donasi dari anggota-anggotanya (atau dari simpatisannya). Sekarang ini, kita bisa menemukan begitu banyak apa yang mungkin bisa disebut sebagai "rekayasa teknologi di bidang persembahan" yang "dikembangkan" oleh atau di dalam gereja-gereja pada umumnya, yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk menemukan cara-cara/teknik-teknik/kiat-kita/trik-trik yang terbaik atau yang paling efektif dalam upaya untuk "menjaring" lebih banyak lagi dana (uang) dari umat (dan dari sumber yang mana saja!) yang masuk ke dalam "pundi-pundi" gereja (dan pendeta!).

4.  Terjadi persaingan yang tidak sehat antara gereja yang satu dengan yang lainnya. Jika kita memperhatikan mengenai hal ini, maka kita akan bisa melihat betapa kisruhnya "dunia pergerejaan" sekarang ini. Mungkin, bukanlah sesuatu yang berlebihan kalau dikatakan, bahwa "dunia pergerejaan" itu sekarang ini  tak ubahnya seperti "dunia persilatan" saja.  Gereja-gereja bersaing satu dengan yang lainnya; pendeta yang satu bersaing dengan pendeta yang lainnya. Segala cara dihalalkan atau "dirohanisasikan" dengan "membungkus" semuanya itu dengan menggunakan ayat-ayat Alkitab. Dan, semuanya itu mereka lakukan hanya untuk memperebutkan anggota (atau pelayan dan, bahkan, tempat/lokasi untuk melakukan kebaktian gereja). Untuk semuanya itulah mereka (gereja-gereja dan para penyelenggaranya itu) tidak sungkan-sungkan melakukan atau menjalankan trik-trik kotor, intrik, dusta dan pemutarbalikan fakta, yaitu segala cara yang ditempuh oleh manusia-manusia yang bejat dan licik di dunia ini (sampai-sampai, menurut saya, jika kawan-kawan di legislatif dan politisi lainnya di negeri ini melihatnya, dijamin mereka itu pun akan "geleng-geleng kepala").


Keempat hal yang sudah dikemukakan di atas itu hanyalah singkapan kecil saja, dari keburukan-keburukan yang terdapat di dalam dan/atau yang dilakukan oleh gereja-gereja sekarang ini. Masih sangat banyak lagi hal-hal yang lainnya yang, jika dinilai menurut standar umum saja pun, sudah tidak bisa dibenarkan lagi. Bahkan, tidak sedikit di antaranya yang tergolong sadis atau kejam. Saya tidak bisa melupakan jawaban yang diberikan oleh seorang pendeta dari suatu gereja yang besar, ketika dia ditanya: "Apa bapak tidak kasihan kepada pendeta-pendeta dari gereja-gereja kecil di sekitar gereja bapak, yang anggota-anggotanya tersedot ke dalam gereja Bapak?" Tahukah Anda apa jawaban dari pendeta ini? Dia menjawabnya begini: "Ada tertulis, 'setiap pohon yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang surga akan dicabut sampai ke akar-akarnya.' Kemudian, dia menambahkan lagi, "Jadi, itu adalah merupakan penggenapan fiman Tuhan. Kita tidak perlu menjadi sentimentil mengenai hal itu!" Ada lagi pendeta yang ketika anggota jemaatnya bermaksud memberikan dukungan keuangan kepada gereja-gereja yang kecil, yang nampaknya sangat membutuhkan pertolongan, mengatakan begini: "Jangan menabur di tempat yang tandus, tetapi menaburlah di tempat yang subur. Kalau kamu menabur di tempat yang tandus, kamu tidak akan menuai apa-apa nantinya!" (dan, "tempat subur" yang dimaksudkannya itu tidak lain adalah gerejanya sendiri, yang sudah sangat besar dan kaya itu). Lihatlah, betapa orang bisa menjadi begitu sadis dan kejam, tetapi sekaligus tetap tertlihat "rohani" juga, karena semua yang dilakukannya bisa "dibungkus" dengan rapi dan cantik dengan menggunakan ayat-ayat dari Alkitab. Sangat menakutkan! (Atau, memalukan?).

Pada suatu kali, saya berbincang-bincang dengan seorang teman mengenai keadaan gereja sekarang ini. Beberapa saat kemudian, teman saya itu berkata begini kepada saya: "Aku sebenarnya sudah tidak bersemangat lagi untuk mengikuti kebaktian di gereja. "Saya justru menjawabnya begini: "Aku malah sudah jijik pun!" Tetapi, (jangan kuatir!) kami masih mau datang-datang ke gereja juga., koq! (Habis, mau ke mana lagi?! Kalau ke Vihara, kan udah lain ceritanya nanti?!).

Tidak lama berselang dari pembicaraan saya dengan teman itu tadi, sebelumnya ada seorang bapak yang datang dari jauh ke rumah saya, untuk berbincang-bincang mengenai persoalan yang dia hadapi dalam pelayanannya di gereja. Dia sangat tertarik bertemu dan berbincang dengan saya, karena dia barusan saja membeli dan membaca buku saya yang berjudul "Rumah Tuhan menjadi Sarang Penyamun". Dalam pembicaraan itu, akhirnya si bapak bertanya begini: "Saya sudah berpindah-pindah keanggotaan gereja sampai lima kali. Dan, di gereja yang sekarang ini pun saya tidak merasa cocok juga. Menurut Bapak, bagaimana? Apa yang harus saya lakukan?" selanjutnya, kami pun larut di dalam perbincangan mengenai hal itu. Dan, akhirnya kami berdua sepakat untuk satu hal ini (sehubungan dengan apa yang ditanyakannya itu tadi), yaitu: Pada dasarnya, semua gereja sekarang ini adalah sama saja; tidak ada yang bisa dikatakan lebih baik dari yang lainnya. Dan, kemudian, tanpa dikomando, kami pun mengucapkan perkataan yang berikut ini (yang menirukan bunyi dari sebuah iklan di TV) secara bersama-sama (yang diakhiri dengan gelak tawa kami berdua):

Apa nggak ada (gereja) yang lebih baik...?
Gereja yang lebih baik itu nggak ada!
... Yang lebih "mahal", banyak! 
Laughing

Kamis, 29 Oktober 2009

Gereja dan Pendeta Sudah Kelewat Banyak Sekarang Ini

Sekarang ini jumlah gereja sudah sangat banyak atau, lebih tepatnya, sudah kelewat banyak! Jumlah pendeta (atau yang disebut begitu), tentunya, berkali-kali lipat banyaknya dari jumlah gereja yang sudah kelewat banyak itu tadi (sebab, banyak pendeta yang tidak atau belum mendirikan/memimpin suatu gereja dan sekolah-sekolah teologia/kependetaan yang jumlahnya juga sudah sangat banyak itu terus saja "memproduksi" para pendeta baru lagi). Menurut saya, keadaan ini tidak baik, tidak sehat dan juga tidak strategis bagi kekristenan. Apakah alasannya saya berkata demikian itu? Berikut ini adalah penjelasan untuk itu.

  • Tidak baik: Karena dengan demikian, akan sangat sukar (bahkan, mustahil) untuk menjaga mutu gereja (dan pendeta) itu sekarang ini.
  • Tidak sehat: Karena keadaan yang demikian itu, mau tak mau, akan menyebabkan kita menjadi saling bersaing dan, bahkan saling berebut (untuk tidak mengatakan bertempur atau berkelahi), dalam menjalankan pelayanan kita. Bukankah "wabah penyakit" yang seperti inilah yang sedang menjangkit di antara kita sekarang ini? Sampai-sampai keadaan yang sangat memalukan ini menjadi tontonan (gratis!) bagi orang luar.
  • Tidak Strategis: Karena dengan terlalu banyaknya gereja (dan pendeta) sekarang ini, hal itu menyebabkan "pasar" kita menjadi "kebanjiran produk" (dengan meminjam bahasa pemasaran), sehingga orang-orang tidak merasa tertarik lagi terhadap "produk" kita (sebab tidak ada lagi rasa "curiosity" di dalam diri mereka terhadap "produk" kita itu).

Lalu, apakah jalan keluarnya? Ayolah, kita kurangi saja sekarang jumlah yang sudah keterlaluan atau kelewatan itu. Karena itu, dari hati saya yang terdalam, saya mengimbau kepada semua teman-teman yang sudah "kadung" jadi pendeta atau menjadi "full-timer" dalam pelayanan: Kalau Anda tidak begitu pasti bahwa Anda benar-benar dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi pendeta atau untuk menjalani pelayan "full-time" tersebut, lepaskan sajalah hal itu! Biarkanlah Tuhan yang berurusan dengan orang-orang tertentu yang memang dipanggil oleh-Nya untuk menjalankan pelayanan-pelayanan "full-timer" itu. Camkanlah ini: Anda tidak diminta untuk memikul "kuk" buatan Anda sendiri, tetapi yang Yesus katakan adalah: "pikullah kuk yang Kupasang" (Mat 11:29). Jadi, Anda hanya berkewajiban untuk memikul "kuk" yang memang dipasangkan oleh Yesus (kepada Anda) saja . Selanjutnya, mulailah merintis suatu pekerjaan atau profesi yang memang lebih sesuai untuk Anda. Dan, sangat mungkin, dengan peralihan tersebut, Anda justru akan menjadi lebih "produktif" lagi bagi Tuhan atau sebagai umat Tuhan.

Saya sudah melakukan dan membuktikan sendiri mengenai hal ini. Selama 20 tahun saya melayani secara "full-timer" dan 10 tahun terakhirnya saya menjadi pendeta yang menggembalakan jemaat. Namun demikian, untuk singkatnya, saya sudah melepaskannya pada tahun 2007 yang lampau. Tetapi, saya masih tetap bisa melayani (memberikan kontribusi terbaik saya bagi kemajuan kekristenan/Kerjaan Allah) dan, sungguh, menjadi lebih produktif sekarang ini. Terpujilah Tuhan!
Bagaimana tanggapan Anda?