Kamis, 03 Desember 2009

Apa Kabar Teologi dan Para Teolog?

“Ketika kita berpaling kepada para teolog (atau kepada karya-karya teologi) untuk mendapatkan pertolongan dalam memahami suatu hal tertentu, yang menyangkut dengan iman kita, seringkali bukanlah kejelasan yang kita dapatkan, melainkan kita justru akan dibuat menjadi lebih kabur lagi mengenai hal tersebut.” Itu adalah sebuah komentar yang, agaknya, mewakili pandangan sebagian besar orang Kristen sekarang ini, sehubungan dengan teologi (dan para teolog).

Saya, memang, belum pernah membuat survey secara khusus, dengan pertanyaan seperti ini: “Apakah karya-karya teologi dan para teolog itu ada manfaatnya bagi Anda?” Tetapi, saya sangat yakin (berdasarkan pantauan saya selama ini, di banyak sekali tempat/even yang saya hadiri dan dari komentar-komentar orang Kristen yang tercetuskan, yang saya dengar/baca diberbagai kesempatan/media), kalau survey yang seperti itu tadi dilakukan di gereja-gereja dan perkumpukan-perkumpulan Kristen sekarang ini, maka orang-orang (khususnya mereka yang “awam” di bidang teologi) yang memberikan jawaban yang negatif terhadap pertanyaan itu, jumlahnya akan diatas 70%.

Dengan mengemukakan hal yang di atas itu tadi, apakah saya mau mengatakan bahwa saya sendiri adalah seorang yang anti atau, sedikitnya, tidak senang terhadap teologi dan para teolog? Sama sekali bukan begitu. Walaupun, saya memang menyetujui bahwa pandangan yang seperti itu tadi (yang negatif) terhadap teologi (dan para teolog) adalah memang cukup beralasan juga. Mengapa? Sebab, bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan para teolog (dan karya-karya teologi itu) memang sepertinya “tidak menginjak bumi” atau “melambung terlalu tinggi di angkasa”. Tetapi, tentunya pandangan yang seperti itu (terhadap teologi dan para teolog) tidak juga sepenuhnya benar. Lalu, bagaimanakah yang benarnya? Hal itulah yang akan saya share-kan selanjutnya.



Ya, bagaimanakah sebaiknya kita memandang teologi dan para teolog itu? Saya mengusulkan pendekatan dari dua arah, yaitu sebagai yang berikut ini.

  • Dari sisi orang awam: Perlu memahami teologi itu sebagai sebuah disiplin ilmu.
Supaya kita, sebagai orang awam di bidang teologia, bisa memandang karya-karya teologi dan para teolog pada umumnya, secara lebih wise dan fair, maka kita harus memahami bahwa teologi itu adalah suatu disiplin ilmu (dan teolog itu adalah ilmuwan), yang memang harus bekerja menurut standard suatu bidang keilmuan pada umumnya. (Kalau tidak demikian, maka bidang mereka itu akan dinilai tidak layak atau tidak memenuhi syarat sebagai sebuah disiplin ilmu). Karena itu, tak dapat dihindarkan, karya-karya teologi itu pun berwujud sebagai karya ilmiah. Dan, karenanya, tak dapat dihindarkan juga, bahasa yang digunakan di sana pun adalah bahasa yang ilmiah dan juga yang  khas (untuk bidang teologia). Itulah mengapa kosa-kata dan istilah-istilah yang digunakan di sana terasa/terdengar sangat asing (atau membingungkan) bagi telinga orang kebanyakan (yang minim pendidikannya). Dan, bahkan, juga bagi orang-orang yang, sekalipun sudah mengenyam pendidikan yang sangat tinggi, tetapi mereka tidak membidangi bidang tersebut (teologia).

  •  Dari sisi para teolog: Harus “menterjemahkan” hasil-hasil karya teologis itu kepada dan dalam “bahasa” orang biasa/awam/umum.
Sangatlah tidak tepat (dan tidak bisa dijadikan alasan) bahwa karena seseorang itu adalah seorang teolog, maka dia (ngotot) harus selalu berbicara (atau menulis) dalam “bahasa” teologis juga, khususnya jika sedang berbicara/menulis di media umum atau kepada orang-orang yang awam secara teologi. Tentu saja, jika orang itu melakukan hal yang demikian terhadap atau di dalam lingkungan keakademisannya (teologi), hal itu lumrah dan bahkan merupakan suatu keharusan baginya. Tetapi, jika cara yang seperti itu juga dibawa-bawa hingga ke luar dari lingkungan keakademisannya itu, hal itu sudah merupakan perbuatan yang kelewatan. Dia sudah kelewat batas! Karena itu, khusus bagi para teolog, dengarkanlah suara hati dari orang-orang awam, yang sesungguhnya memang sangat membutuhkan masukan-masukan dari Anda sekalian (yang tidak mungkin kami dapatkan dari mereka-mereka yang membidangi bidang-bidang lainnya). Suara-suara itu pada umumnya berbunyi seperti yang berikut ini:

“Berbicaralah kepada kami dengan bahasa yang bisa kami mengerti. Kami sangat membutuhkan masukan dari kalian, supaya kami bisa menjadi lebih memahami iman kekristenan yang kami anut ini.”

“Tolonglah, supaya kalian jangan seolah-olah hanya ingin memamerkan saja kepada kami mengenai ilmu yang kalian miliki itu dan menunjukkan betapa pintar atau brilliant-nya pemikiran kalian itu, dengan penggunaan bahasa-bahasa yang, sejujurnya, ‘aneh’ terdengarnya di telinga kami itu!”

“Kami sesungguhnya berharap banyak dari kalian, khususnya untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan mengenai arti dari nats-nats (ayat-ayat) Alkitab dan semua praktek-praktek ibadah kami, sebagai orang Kristen.”


Imbauan Kepada Para Teolog


Sudah saatnyalah sekarang untuk para teolog menjadi siuman dari tidur panjangnya selama ini. Mari lihat keadaan kekristenan yang sangat mengenaskan dan menguatirkan sekarang ini. Orang-orang yang sebenarnya sangat tidak pantas, telah duduk di kursi kalian sekarang ini. Orang-orang yang sesungguhnya sangat jauh dari mumpuni, sedang berdiri di tempat kalian sekarang ini, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan, yang semestinya cuma kalian sajalah yang bisa dan pantas untuk mengerjakannya.

Mereka itu tidak pantas dan tidak mumpuni, karena sesungguhnyalah mereka tidak pernah menerima pendidikan atau mempelajari ilmu teologi secara memadai atau sebagaimana yang sepatutnya. Dan, mereka itu sesungguhnya tidak punya dasar sedikitpun (dan karenanya, sebenarnya, tidak punya hak sama sekali!) untuk melakukan penafsiran atas nats-nats (atau ayat-ayat) Alkitab. Seharusnyalah, yang boleh melakukan penafsiran atau penjelasan (komentar) atas nats-nats (ayat-ayat) Alkitab itu adalah seorang ahli di dalam bidang penafsiran Alkitab. Atau, setidaknya, seorang yang bersedia dan tahu bagaimana caranya menggunakan hasil-hasil karya dari para ahli yang sudah mereka publikasikan.

Tetapi, mereka itu, dengan modal nekat saja (ditambah dengan kefasihan dalam berbicara dan, sebagiannya masih ditambah lagi dengan “keterampilan” untuk membuat “apa yang, sebenarnya, terjadi hanya secara natural/psikologis saja, bisa kelihatan seperti kejadian yang supranatural/ilahi”), membacakan kepada umat “ayat-ayat” dari Alkitab dan berkata: “Menurut ayat ini kita harus berbuat begini…”, “berdasarkan ayat ini kita dituntut supaya…”.

Tetapi, (di sinilah masalah itu menjadi begitu menguatirkan) banyak sekali orang, yaitu di antara umat, yang justru sangat menyambut dan mempercayai mereka itu sekarang ini. Dan, menurut pengamatan saya, hal itu terutama sekali, karena mereka itu menerapkan pendekatan yang sangat menarik dan, khususnya,  penggunaan bahasa yang disesuikan dengan para pendengarnya.

Karena itu, sekali lagi, bangkitlah hai para teolog! Ambillah kembali tempat kalian, yang telah mereka ambil, karena tadinya kalian biarkan terbengkalai. Dudukilah lagi kursi yang menjadi hak kalian itu. Dan, berdirilah lagi di tempat di mana yang, memang, sudah semestinya menjadi tempat untuk kalian berdiri itu. Tetapi, sekarang ini, ubahlah pendekatan kalian, khususnya “bahasa” kalian! (Percayalah, masih cukup banyak kami, yang akan berada di belakang kalian!).




1 komentar: