Selasa, 05 Januari 2010

Penafsiran Alkitab adalah suatu Keniscayaan

Kata “tafsir”, “tafsiran”, atau “menafsir” memang “terasa” sebagai sebuah kata yang agak “kasar” atau berkesan “duniawi” bagi kebanyakan kita. Rasanya, kata tersebut lebih cocok jika digunakan di bidang-bidang yang “akali-duniawi” dari pada di dalam bidang yang “rohani”, seperti Alkitab. Jadi, rasanya agak kurang pas-lah, kalau kita menggunakan kata tafsir, tafsiran atau menafsir itu untuk Alkitab, yang adalah firman Tuhan.

Selain dari alasan yang lebih bersifat atau bertumpu pada sisi perasaan itu, ada alasan yang lain lagi yang menyebabkan beberapa orang berkeberatan dengan penggunaan kata tafsir (tafsiran atau menafsir) itu terhadap Alkitab, yang kali ini lebih dilihat dari sisi akali (pikiran). Yang saya maksudkan itu ialah orang-orang yang memandang Alkitab itu sebagai sebuah kitab undang-undang dasar (UUD) atau “buku Tuhan” atau “buku kebenaran”, yang berisikan “kebenaran-kebenaran yang sudah siap pakai”. Pandangan yang seperti ini terhadap Alkitab adalah terlalu idealis. Atau, pandangan yang terlalu menekankan hanya pada sisi Alkitab itu semata, sehingga melupakan sisi manusia kita, yang sudah nyata-nyata bahwa, sebagai manusia, tak ada seorang pun di antara kita yang bisa menjadi obyektif sepenuhnya.



Memang, jika kita hanya melihat dari sisi Alkitab itu semata, kita bisa saja mengatakan bahwa Alkitab itu 100% firman Tuhan dan, karena itu, Alkitab itu adalah 100% kebenaran. Itu memang pernyataan yang benar 100%, tetapi jika hanya dilihat dari sisi Alkitabnya saja (Alkitab itu sebagaimana adanya saja).

Tetapi, setiap kata yang telah diambil (dikutip) seseorang dari Alkitab itu, misalnya dengan membacanya, maka hasil bacaannya itu sudah bukan Alkitab atau kata-kata Alkitab (yang orisinil) lagi. Sebab, membaca itu adalah suatu kegiatan pikiran dari seseorang, dan pikiran semua orang itu adalah hasil dari pengondisian yang dialaminya selama masa hidup yang sudah dilaluinya, hingga menjadikannya seperti adanya sekarang ini. Ketika dia membaca Alkitab dengan pikirannya itu, maka hasil bacaannya itu sangatlah diwarnai (dipengaruhi) oleh pikirannya (yang sudah mengalami pengondisian-pengondisian) tersebut.

Seseorang bisa saja mendidik, melatih dan mendisiplin dirinya sendiri (atau dengan bantuan guru/pelatih), sehingga dia bisa mencapai tinggkatan yang cukup tinggi dalam hal menjadi obyektif, ketika dia hendak mempelajari sesuatu (hal ini tentunya adalah satu hal yang dituntut dari setiap ilmuwan di segala bidang). Tetapi, setinggi-tingginya tingkat obyektifitas yang dimiliki oleh seseorang itu, satu hal yang pasti ialah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa mencapai hingga menjadi obyektif sepenuhnya (atau obyektif 100%). Dan, karena fakta itulah, maka sudah merupakan hal yang tak terbantahkan lagi bahwa semua bacaan sesorang terhadap kata-kata (dari) Alkitab sudah bukan lagi kata-kata dari Alkitab itu sendiri lagi, tetapi kini sudah berubah, yaitu menjadi seperti apa yang cocok dengan hal-hal yang paling mendominasi pikiran dari orang tersebut (pada saat dia membacanya).

Sesungguhnyalah kita tidak bisa menarik keluar (dari Alkitab) kata-kata yang ada di dalam Alkitab itu. Karena itu, apapun yang sudah (berhasil) kita “tarik” keluar dari Alkitab, itu bukanlah Alkitab atau kata-kata dari Alkitab itu (lagi). Tetapi, Itu hanyalah pengertian atau pemahaman kita mengenai Alkitab atau mengenai kata-kata dari Alkitab tersebut.

Apakah Alkitab itu Sudah Jelas bagi Setiap Orang?

Sesuatu yang tidak perlu untuk ditafsirkan (atau tidak memerlukan penafsiran lagi) adalah hal yang sudah sangat jelas (arti atau maksudnya) bagi semua orang. Tetapi, kalau suatu hal itu masih perlu untuk ditafsirkan, berarti hal itu masih belum jelas (arti atau maksudnya) bagi semua orang. Karena itu, pertanyaannya sekarang ialah begini: apakah Alkitab itu sudah jelas bagi setiap orang? Akan terlalu naiflah kalau ada orang yang berkata bahwa Alkitab itu memang sudah jelas (arti atau maksudnya) bagi semua orang (sekalipun yang dimaksud dengan “orang” itu adalah orang-orang Kristen).

Izinkan saya untuk mengutip dari buku saya sebagai yang berikut ini:

Ada sebuah perkataan bijak berkaitan dengan Alkitab, yaitu: “Orang yang membaca hanya Alkitab saja, sebenarnya tidak pernah membaca Alkitab itu sendiri.” Itu sangat tepat. Mengapa? Sebab, “Alkitab itu sendiri” tidaklah (sudah/bisa) jelas dengan sendirinya. Seperti yang dinasehatkan oleh kedua orang tua kita ini: “Janganlah kita beranggapan, bahwa isi Alkitab dengan sendirinya sudah jelas kepada kita!” (Dr. G.C. van Niftrik dan Dr. B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2005, hal. 20).

Bagi orang yang mau membaca Alkitab dan memahami isinya (terlebih lagi bagi para pendeta dan pengkhotbah) haruslah menyadari, bahwa membaca Alkitab itu tidak boleh (maksudnya, tidak cukup) dilakukan dengan cara yang sederhana, seperti ketika kita membaca majalah mingguan atau koran harian. Sebab, peristiwa-peristiwa yang diceritakan di dalamnya bukanlah peristiwa-peristiwa yang baru terjadi hanya beberapa waktu yang lalu. Baik penulis-penulisnya maupun pembaca-pembaca pertamanya bukanlah orang-orang yang hidup pada masa sekarang ini.

Sesungguhnya (ini bukanlah untuk merendahkan nilainya, tetapi hanya untuk mengatakan apa adanya atau kebenaran tentangnya), apa yang terdapat di dalam Alkitab itu adalah teks-teks yang sangat kuno (berasal dari zaman yang jauh sekali berbeda dengan zaman di mana kita hidup sekarang ini). Karena itu, untuk memahaminya dengan benar, dibutuhkan sedikitnya (masih merupakan syarat awalnya saja) penguasaan dalam pengetahuan dan keahlian dalam memperlakukan teks-teks kuno (baik dalam teori secara umumnya maupun penerapan khususnya terhadap bahan-bahan/teks-teks “asli” Alkitab itu sendiri). (Julius Tarigan, Rumah Tuhan menjadi Sarang Penyamun [versi e-book/pdf], C-Reformers Publishing, 2009, hal. 80-81).
  
Dan, yang berikut ini adalah kutipan dari tulisan pak Hasan Susanto:

Alkitab, kitab suci orang Kristen, tidak mudah dimengerti. Pembacanya membutuhkan pertolongan Roh Kudus untuk benar-benar menghayatinya. Selain itu, ada sejumlah faktor yang menyebabkan Alkitab tidak mudah dipahami. Contohnya, Alkitab adalah sebuah kitab yang tebal, dan ditulis oleh banyak penulis dalam kurun waktu yang cukup lama. Pengalaman, budaya, kebiasaan, kehidupan sosial, sisitem politik, keadaan ekonomi, lingkungan hidup, dan cara berkomunikasi para penulis Alkitab sangat berbeda dengan pembaca hari ini. Ada jarak yang begitu jauh antara daerah Palestina dan sekitarnya dengan nusantara di mana para pembaca Indonesia tinggal. Keadaan dan iklim di sana sangat berbeda dengan yang ada di sini. Kitab Wahyu, kitab terakhir, ditulis sekitar 2.000 tahun yang lalu. Hari ini, orang Kristen tidak memiliki naskah-naskah asli Alkitab kecuali salinan-salinan kuno. Kitab-kitab ini ditulis dengan bahasa-bahasa kuno yang asing bagi pembaca masa kini. Ragam sastra dalam Alkitab tidak sama dengan apa yang ada pada zaman sekarang. Tidak ada banyak informasi mengenai bahasa Ibrani dan bahasa Yunani kuno yang diteruskan kepada pembaca masa modern. Dalam PL. terdapat sejumlah besar kata yang jarang ditemukan. Semua ini dan masih banyak yang lain membuat penafsiran Alkitab menjadi tidak mudah.
                
Dilihat dari sudut komunikasi, Alkitab merupakan komunikasi tertulis. Dalam proses penulis Alkitab mengkomunikasikan berita kepada pembaca pertamanya, paling tidak ada empat unsur yang terlibat. Dikatakan paling tidak empat, karena ini masih belum memasukkan unsur lain, misalnya, pembawa surat, atau orang yang diminta bantuannya menuliskan surat. Keempat unsur ini adalah penulis kitab (komunikator), berita yang disampaikan, media komunikasi (kitab yang ditulis), dan penerima kitab (komunikan). Setiap komunikasi membutuhkan penafsiran. Jadi pembaca pertama kitab perlu menafsir apa yang disampaikan penulis kitab. Komunikan menafsir berita yang diterima melalui pancaindera berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada padanya. Namun demikian, keempat unsur yang disebutkan di atas membuat tugas penafsiran ini menjadi rumit. Tugas ini menjadi lebih sulit bagi pembaca masa kini. Karena ini merupakan komunikasi tertulis, mereka tidak beroleh unsur paralinguistis yang cukup. Sebagai pembaca Alkitab yang hidup pada abad ke-21, mereka adalah pihak ketiga, yang tidak membaca secara langsung surat yang ditulis, atau mendengar kata-kata diucapkan, penulis Alkitab. Lalu, seperti yang disebutkan di atas, komunikasi ini terjadi di tempat dan zaman yang sangat jauh dan berbeda dengan pembaca hari ini. Mereka tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk memahami isi Alkitab. Ini semua membuat penafsiran Alkitab menjadi sulit.
                
Masih ada banyak faktor yang patut dibahas, di antaranya, prasangka pembaca tertentu terhadap kekristenan…. (Pdt. Hasan Sutanto, D.Th., Hermeneutik: Prinsip dan metode Penafsiran Alkitab, Literfatur SAAT, Malang, 2007, hal. 19).

Penafsiran Alkitab adalah “Biang Keladi” dari Perpecahan di dalam Kekristenan?

Pendekatan yang menggunakan penafsiran dituduh oleh orang-orang tertentu sebagai biang keladi dari terjadinya banyak perpecahan di antara umat Kristen, sehingga kekristenan sekarang ini telah terpecah-pecah ke dalam begitu banyak denominasi. Katanya, hal itu terjadi karena orang-orang itu menafsirkan Alkitab, sehingga masing-masing orang akan menafsirkan Alkitab menurut pandangannya sendiri-sendiri. Maka, terjadilah perpecahan-perpecahan itu.

Patutlah untuk kita pertanyakan, apakah pendekatan yang tidak menggunakan penafsiran terhadap Alkitab akan menghasilkan kesatuan dan persatuan di antara umat Kristen atau akan bisa menghindarkan terjadinya perpecahan di antara umat Kristen? Jawabannya adalah kata “tidak” yang tegas! Mengapa? Sebab, ada pun yang menjadi alasan mengapa orang-orang Kristen menerapkan/melakukan penafsiran kepada Alkitab, justru adalah karena telah didapati (di lapangan) bahwa Alkitab itu ternyata tidaklah sudah jelas (artinya) bagi semua orang. Masing-masing orang akan mengartikan Alkitab itu menurut minat, kemampuan, latar-belakang, dan kepentingannya sendiri-sendiri. Karena itu, demi supaya orang-orang Kristen tidak dengan sesukanya saja dalam mengartikan kata-kata di dalam Alkitab itu, maka dibuat atau disusunlah suatu cara/metode yang baik dan yang bisa dipertanggungjawabkan dalam menentukan artinya atau menafsirkan Alkitab itu. Kalau saja Alkitab itu memang sudah jelas bagi semua orang, tentulah mereka itu tidak akan bersusah-susah untuk mencari dan merumuskan cara-cara untuk melakukan penafsiran tersebut.

Dari sana justru dapat dilihat bahwa cara menafsirkan Alkitab (yang dilakukan dengan cara2/metode2 yang terstandard) adalah jauh lebih baik dari pada cara yang hanya “memahami” Alkitab itu secara langsung saja.

Memang, harus diakui juga bahwa dengan cara menafsirkan itu (dengan menerapkan cara/metode yang berstandard) masih terdapat banyak kelemahan-kelemahannya. Tetapi, jika dibandingkan dengan cara “memahami” itu tadi, maka cara penafsiran tersebut jauh lebih bisa diandalkan. Mengapa? Karena TINGKAT OBYEKTIFITASNYA BISA CUKUP TINGGI. Sebab, cara menafsir itu bisa diperiksa/dinilai/diukur oleh banyak orang (untuk melihat apakah pemahaman yang didapatkan dari penafsiran itu memang diperoleh dengan menerapkan cara/prosedur yang semestinya atau tidak). Dan, yang terpenting, tingkat obyektifitasnya itu pasti jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan cara “memahami” itu tadi, yang nyata-nyata sangat subyektif, karena hanya merupakan hasil pemahaman dari seseorang saja.

Tingkat obyektifitas yang cukup tinggi itu bisa didapatkan dari cara manafsir tersebut, karena cara menafsir itu memiliki standard yang tertentu untuk bisa dijadikan sebagai ukuran, yang melaluinya orang-orang lain dapat menilai: apakah seseorang itu telah menempuh tahapan-tahapan yang sewajarnya dan yang sepatutnya dalam usahanya untuk mengetahui arti dari kata-kata yang terdapat di dalam Alkitab itu atau tidak. Jadi, dengan kata lain, cara menafsir itu melibatkan banyak orang untuk bisa sampai kepada kesimpulan akhirnya (itulah sebabnya yang namanya penafsiran Alkitab itu tidak pernah “sudah final”, tetapi masih terus dilakukan dari masa-ke masa, sampai nanti “yang sempurna itu tiba”). Sedangkan, dalam cara “memahami” itu tadi, ukurannya hanyalah pendapat atau keyakinan dari orang yang bersangkutan itu saja. Sehingga, hasilnya itu adalah sangat sangat subyektif.

Jadi, alih-alih hendak membuat terjadinya kesatuan pemahaman di antara umat Kristen, cara “memahami” itu malahan justru akan membuat perpecahan yang jauh lebih parah lagi! Karena dengan pendekatan yang seperti itu, masing-masing orang akan menjadi yakin dengan apa yang “dipahaminya” (secara langsung) itu. Dan, karena hal itu hanyalah suatu pemahaman yang diyakini semata, yang dalam proses untuk sampai ke sana tidak memiliki suatu cara/sistem atau prosedur yang sudah tertentu (yang nantinya bisa diamati dan diukur oleh orang lainnya), maka akan mustahillah untuk menentukan apakah pemahaman tersebut memang memiliki dasar yang cukup atau tidak. Karena itu, keyakinan akan “pemahaman” yang dimiliki dengan cara yang seperti itu hanya patut disebut sebagai asumsi atau, bahkan, spekulasi semata.

Sedangkan, cara menafsir ini tidak bisa dikatakan seperti itu, yaitu hanyalah merupakan asumsi atau spekulasi semata. Sebab, cara menafsir ini memiliki hal-hal yang tidak dimiliki oleh cara “memahami” itu tadi, yaitu (seperti yang sudah disinggung sebelumnya) adanya seperangkat cara/metode yang merupakan suatu sistem (dan prosedur), yang cara kerjanya bisa diamati dan diukur oleh pengguna dan oleh orang lain juga. Sehingga, bagaimana seseorang itu bisa sampai kepada suatu kesimpulan yang tertentu, hal itu akan dapat diperiksa/diamati: Apakah untuk sampai kepada kesimpulan tersebut dia memang sudah menjalankan atau mengikuti prosedurnya dengan benar atau tidak. Namun demikian, sekali lagi, cara menafsir itu sendiri tidaklah saya katakan sudah sempurna atau tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau keburukan-keburukan (yang berarti) sama sekali. Memang, sebagai hasil karya dari manusia, cara menafsir itu masih memiliki lumayan banyak kelemahan-kelemahan dan keburukan-keburukannya juga (agaknya karena melihat kelemahan2/keburukan2 tersebutlah, antara lain, yang menyebabkan orang-orang tertentu menjadi terpikir untuk meninggalkan atau mengesampingkan cara menafsir ini dan mencari cara-cara yang lainnya, antara lain dengan cara “memahami” itu tadi). Tetapi, alternatif yang ditawarkan dengan cara “memahami“ itu justru merupakan alternatif yang jauh lebih buruk lagi, dari pada cara menafsir itu tadi. Karena itu, sekalipun cara menafsir ini memang tidak bagus-bagus amat (katakanlah begitu!), tetapi karena inilah satu-satunya cara yang lebih baik yang bisa kita gunakan hingga saat ini, maka mau tak mau kita harus tetap memilih cara menafsir ini saja (setidaknya, untuk masa sekarang ini).

Sebagai catatan tambahan: Bahkan “karunia-karunia” atau “manifestasi” Roh Kudus, yang dicatat di dalam 1 Korintus 12-14, yang nyata-nyata dikatakan sebagai pekerjaan (yang "langsung") dari Roh Kudus, masih tergolong dalam penafsiran juga, sebab masih terdapat juga unsur ketidak pastian akan ketepatan/keakuratan hasilnya  di sana. Inilah yang dikatakan oleh Paulus: “Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna…Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.” (1Kor 13:9-12).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar