Selasa, 17 November 2009

Penghakiman yang Boleh dan yang Dilarang


Pada umumnya kita sudah mengenal frasa yang telah diambil alih dari Alkitab ini, yaitu: "Jangan menghakimi!" Dan, sudah sering kali frasa tersebut digunakan untuk menegur atau mengingatkan orang-orang yang mengemukakan penilaian atau pernyataan yang mengritik atau mengoreksi perilaku dan/atau perkataan dari orang-orang yang lainnya. Tetapi saya juga mendapati bahwa kita, pada umumnya, tidaklah memiliki pemahaman yang jelas dan tegas mengenai frasa yang merupakan sebuah instruksi atau larangan tersebut. Menurut hemat saya, hal itu disebabkan karena kita belum pernah menjawab atau mendapatkan jawaban yang tuntas atas pertanyaan yang berikut ini: Dalam hal apa sajakah instruksi atau larangan ini berlaku atau tepat untuk diberlakukan?

Ya, pertanyaan itu memang perlu dan bahkan merupakan suatu keharusan untuk kita tanyakan dan dapatkan jawabannya. Mengapa? Sebab sudah tentulah bahwa instruksi atau larangan itu tadi ("jangan menghakimi") tidak mungkin dimaksudkan untuk berlaku atau diberlakukan di dalam atau terhadap segala hal. Karena, kalau demikian, maka orang-orang yang sudah nyata berkelakuan tidak bermoral pun (mis: mencuri, berzinah, dsb.) atau yang menyebarkan ajaran sesat (mis: Saksi Yehova, Mormon, dsb.) akan menjadi tidak boleh juga untuk kita hakimi atau menyatakan bahwa mereka itu bersalah. Wah, kacau dong, kalau begitu! Tetapi kita semua tahu bahwa yang sebenarnya bukanlah begitu. Nah, karena kita sudah sama-sama melihat bahwa instruksi atau larangan tersebut tidak ditujukan untuk segala hal, maka kita pun kini sudah bisa kembali lagi kepada pertanyaan yang di atas itu tadi, yaitu: Dalam hal apa sajakah instruksi atau larangan itu berlaku atau tepat untuk diberlakukan? Marilah kita memeriksanya.

Bagian Alkitab yang hendak saya periksa di sini bersama dengan Anda ialah Matius 7. Pasal yang ketujuh dari kitab Matius ini memang sangat tepat untuk kita periksa sekarang di sini. Sebab di dalam pasal ini terdapat bahan-bahan yang cukup lengkap mengenai topik penghakiman yang kita bicarakan di sini. Ayat  yang pertamanya saja kita sudah disambut dengan sangat "ramah": "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi," (kemungkinan besar dari perkataan Yesus inilah frasa yg sudah sangat terkenal tadi berasal). Yang akan saya lakukan di sini nanti, tentulah bukan memeriksa keseluruhan dari pasal tersebut secara ayat-per-ayatnya. (Sebab, terus terang saja, saya tidak memiliki cukup keahlian untuk melakukan hal yang demikian itu. Untuk pekerjaan yang seperti itu sebaiknya kita serahkan saja kepada ahlinya!). Tetapi, apa yang hendak saya lakukan di sini nanti hanyalah menarik "benang merah" mengenai penghakiman yang terdapat di dalam pasal yang khusus ini. Berikut ini adalah 3 bagian yang utamanya.

1. Jangan cenderung hanya menghakimi Kesalahan orang lain saja
2. Jangan menghakimi secara sembarangan saja
3. Jangan pernah menghakimi mengenai keselamatan Kekal seseorang

Selanjutnya, ke depan nanti, kita akan membahas mengenai ketiga hal yang disebutkan di atas itu tadi, secara satu demi satu.

Jangan Cenderung hanya Menghakimi Kesalahan Orang lain saja

Di dalam ayat 1 sampai ayat 5 Yesus membicarakan mengenai hal ini. Di sini kita bisa melihat dengan jelas bahwa ketika Yesus berkata, "jangan kamu menghakimi...", hal itu tidaklah dimaksudkan-Nya supaya kita sama sekali tidak boleh menghakimi. Hal itu terlihat nyata dari contoh yang diberikan-Nya di dalam ayat 3-5, di mana Dia memberikan kiasan mengenai "selumbar dan balok di mata". Ada 3 hal yang dikatakan oleh Yesus di sana, yang sangat baik dan berguna untuk kita perhatikan, khususnya dalam konteks pembicaraan kita di sini.
  • "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" -- Melihat kesalahan orang lain, tetapi tidak melihat kesalahan diri sendiri adalah suatu hal yang sangat tidak wajar (janggal/aneh/ganjil) dan sangat tidak masuk akal.
  • "Bagaimana engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu" -- Mau mengurus kesalahan orang lain, padahal kesalahannya sendiri tidak atau belum diurusnya dengan sebaik-baiknya, itu adalah suatu perbuatan yang muskil dan mustahil untuk bisa berhasil.
  • "Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu" -- Hanya apabila kesalahan/kelemahan yang ada di dalam diri kita sendiri telah kita tanggulangi, barulah kita pun akan bisa (dengan leluasa) menolong orang lain, untuk menanggulangi kesalahan/kelemahan yang ada pada mereka.
Jadi, bukannya kita tidak diperbolehkan sama sekali untuk menghakimi orang lain, tetapi kalau kita mau melakukannya, hakimilah terlebih dahulu diri kita sendiri, dengan cara yang benar atau dengan sebagaimana mestinya. Hanya jika kita sudah menghakimi diri kita sendiri (dengan sebaik-baiknya), barulah kita pun akan bisa dan pantas untuk menghakimi orang lain juga.

Jangan Menghakimi secara Sembarangan saja

Di dalam ayat 15 sampai ayat 20 Yesus berbicara mengenai "nabi-nabi palsu". Di sini justru, dengan sangat tegas sekali, Yesus mengatakan bahwa kita harus menghakimi atau melakukan penilaian (=kritik) terhadap orang lain. Yang secara khusus dikatakan-Nya sebagai satu hal yang harus kita hakimi di sini adalah semua orang yang menyampaikan pengajaran kepada kita. Adapun yang menjadi tujuan dari penghakiman dan penilaian itu ialah untuk mengetahui atau mengenali, apakah mereka itu adalah pengajar-pengajar yang benar atau mereka itu adalah pengajar-pengajar yang culas (Yesus menyebut mereka dengan "nabi-nabi palsu").

Tetapi, sekalipun demikian, yaitu sekalipun kita memang harus menghakimi orang lain (khususnya mereka yang mengajar), bukan berarti kita boleh melakukannya secara sembarangan saja. Tugas untuk menghakimi itu bukanlah diperuntukkan bagi orang-orang yang suka usil atau yang "kurang kerjaan", yang kesibukannya hanyalah untuk mencari-cari kesalahan orang lain saja, dan yang cenderung menuduh atau menuding orang-orang tertentu (yang kebetulan tidak disukai oleh mereka), dengan semau-maunya atau dengan seenaknya saja. Karena itu, kalau Anda sudah sangat ingin untuk menghakimi orang lain, pastikanlah terlebih dahulu bahwa Anda sendiri sudah:
1) Menghakimi diri Anda sendiri dengan cara yang benar atau sebagaimana mestinya (atau dengan sebaik-baiknya), dan
2) Mengetahui cara kerja dan juga ukuran/standard apa yang semestinya Anda gunakan dalam melakukan penghakiman itu.
Di dalam bagian Alkitab yang kita periksa ini, Yesus memberikan sebuah ukuran (standard) yang sangat tepat jika digunakan untuk jenis penghakiman yang dimaksudkan oleh-Nya di sini. Ukuran itu ialah: "Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri?" (16).

Supaya tidak terjadi kesalahfahaman (yang akan berujung kepada penyalahgunaan), perlulah di sini saya kemukakan, bahwa penghakiman yang dimaksudkan oleh Yesus di sini bukanlah penghakiman atas doktrin dari para pengajar yang dimaksud itu. Atau, dengan kata lain, bukan kebenaran mereka secara doktrin yang hendak dihakimi di sini (seperti yang selama ini, secara keliru, dipahami oleh beberapa orang).

Kalau begitu, dalam hal apakah penghakiman itu ditujukan? Penghakiman yang dimaksudkan di sini, secara khusus, ditujukan terhadap kebenaran moral-spiritual mereka itu. Yaitu untuk mengetahui apakah mereka itu memang bermaksud baik atau tidak. Atau, dengan kata lain, apakah mereka itu tulus dalam melakukan "pelayanan" mereka atau mereka itu sebenarnya punya motif-motif yang jahat di baliknya (seperti "serigala yang berbulu domba"). Atau, singkatnya, penghakiman yang dimaksudkan oleh Yesus di sini hanyalah untuk mengetahui apakah seseorang itu adalah orang baik atau orang yang jahat. Karena itu, untuk mengetahui/mengenalinya cukuplah dengan melihat dari buahnya, yaitu dari cara-cara orang tersebut dalam menjalankan kehidupannya.

Jadi, penghakiman yang dimaksudkan oleh Yesus pada bagian Alkitab yang khusus ini hanyalah pada bidang yang tertentu itu saja (apakah orang itu adalah orang yang baik atau orang jahat), belum sampai kepada pemeriksaan terhadap doktrin atau ajaran tertentu dari orang tersebut. Tetapi, hal ini bukanlah bermaksud mengatakan bahwa penghakiman terhadap doktrin dari seseorang itu tidak boleh atau tidak perlu untuk kita lakukan. Atau, mengatakan bahwa Yesus tidak memandang perlu mengenai penghakiman terhadap doktrin dari seseorang itu. Tentulah doktrin seseorang itu harus kita hakimi juga. Tetapi untuk melakukan hal yang satu itu kita memerlukan ukuran/standard yang lain lagi. Mengapa? Sebab, ukuran yang diberikan oleh Yesus, seperti yang telah disebutkan itu tadi (yang ditujukan untuk menghakimi para pengajar secara moral-spiritual), sudah tidak tepat atau tidak memadai lagi kalau kita gunakan untuk tujuan yang lainnya (seperti untuk menghakimi doktrin seseorang).

Saya merasa sangat perlu untuk memperlihatkan secara jelas di sini mengenai perbedaan di antara kedua hal di atas itu tadi (yaitu penghakiman terhadap moral-spiritual seseorang dan penghakiman terhadap doktrin seseorang). Sebab, kalau tidak dilakukan yang demikian itu, saya kuatir nantinya umat akan menjadi bingung atau, yang lebih buruk lagi, tertipu. Mengapa bisa demikian? Sebab, dalam realitanya akan banyak orang yang mereka jumpai yang -- setidaknya, sebagaimana yang terlihat dari penampilan luarnya -- memiliki perangai yang sangat baik, ramah, lemah lembut, rendah hati, murah hati dan penuh tanggung jawab, tetapi mereka itu memiliki doktrin yang sangat menyimpang. Sebagai contohnya, kita bisa menunjuk kepada orang-orang yang menjadi penganut/aktivis Saksi Yehova, Mormon, dsb. Banyak di antara mereka itu yang, dari penampilan luarnya, terbilang sangat baik dan memiliki cara hidup yang mengagumkan. Tetapi, jelas-jelas mereka itu adalah para penyesat di dalam ajaran mereka. (Karena itu, seorang pengajar yang benar itu harus bisa lulus ujian di dalam, setidaknya, kedua hal ini: karakter dan ajaran. Tidak cukup hanya benar secara karakter saja dan tidak cukup juga hanya benar secara ajaran/doktrin saja, tetapi harus benar di dalam kedua-duanya itu).

Jangan Pernah Menghakimi mengenai Keselamatan Kekal Seseorang

Sesungguhnya butir yang ketiga inilah yang ingin sekali untuk saya tekankan kepada kita semua dalam kesempatan ini. Sebab, memang, di dalam hal inilah yang selama ini kita (yaitu orang Kristen secara keseluruhannya) telah banyak sekali melakukan kesalahan (khususnya yang berkaitan dengan hal menghakimi ini). Dan, sesungguhnyalah larangan untuk menghakimi itu, yaitu yang secara mutlaknya, hanyalah dalam penggunaannya terhadap hal yang satu ini saja, yaitu dalam hal mengenai keselamatan kekal dari seseorang.

Untuk lebih jelasnya, marilah sekarang kita perhatikan ayat 21 sampai ayat 23. Sesungguhnya yang dibicarakan di sini tidak lain adalah mengenai penghakiman (juga). Tetapi, kalau di bagian yang pertama tadi (ayat 1-5) dan juga di bagian yang keduanya (ayat 15-20) yang menjadi hakimnya adalah kita (manusia), maka di sini yang menjadi hakimnya ialah Tuhan sendiri. Selama ini (mungkin, secara tidak disadari atau karena belum memahami) banyak orang yang menghakimi orang lain dengan menggunakan bagian Alkitab ini. Dengan demikian, mereka itu sesungguhnya sedang berperan sebagai hakimnya di sini. Padahal, hanya Tuhan sendirilah yang bisa dan layak untuk menjadi hakimnya di sini. Sebab, bidang yang hendak dihakimi di sini pun memang sangatlah istimewa, yaitu mengenai keselamatan kekal dari seseorang atau penentuan final dari nasib kekal seseorang.

Saya tahu, ada segolongan orang yang berpendapat bahwa penghakiman yang dimaksud di sini adalah apa yang dikenal sebagai "tahta pengadilan Kristus" (2 Kor 5:10), yang hanya akan menentukan upah yang akan diterima oleh seseorang, bukan mengenai keselamatan atau nasib kekalnya. Saya sendiripun cukup lama juga mempercayai penjelasan yang seperti itu atas bagian Alkitab yang khusus ini. Tetapi, kalau ditimbang-timbang lagi, maka sesungguhnya akan sangat sukarlah untuk menerima bahwa kata-kata yang berikut ini akan diucapkan oleh Tuhan nanti di "tahta pengadilan Kristus" itu, yaitu: "Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan" (23).

Jadi, saya ulangi, penghakiman yang dilakukan di sini adalah penghakiman yang dilakukan oleh Tuhan dan penghakiman tersebut adalah untuk menentukan keselamatan atau nasib kekal dari seseorang. Karena itu, harus ditegaskan begini: Khusus untuk atau mengenai hal yang satu ini (keselamatan kekal), kita harus sepenuhnya atau sama sekali tidak diperbolehkan untuk menghakimi. Sebab, hanya Tuhan sajalah yang bisa (mampu) dan berhak untuk menghakimi seseorang, di dalam hal yang sangat khusus ini.

Dan, dalam kesempatan ini saya juga akan membantah sebuah alasan yang sering dikemukakan orang, untuk membenarkan diri dalam melakukan "penghakiman yang terlarang" ini. Banyak orang yang beralasan bahwa mereka hanya menghakimi seseorang itu (yaitu untuk memastikan, apakah dia sudah benar-benar selamat/lahir baru atau belum) berdasarkan pada penghakiman yang dilakukan oleh Tuhan itu tadi, yaitu yang tercatat di bagian Alkitab tersebut. Alasan itu akan sangat nyata ketidakbenarannya, jika kita memperhatikan mengenai waktu yang ditetapkan Tuhan sendiri, untuk melakukan penghakiman yang khusus tersebut. Di dalam bagian Alkitab itu tadi, dengan sangat jelas dikatakan, bahwa waktu untuk melakukan penghakiman itu adalah sudah tertentu, yaitu "pada hari terakhir" (ay.22). Dan, kalau perkataan "hari terakhir" itu masih dianggap belum terlalu jelas juga, maka bacalah bagian tersebut di dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia sehari-hari (BIS), di sana terjemahannya adalah "pada hari kiamat". Jadi, jelaslah sekarang, bahwa tidak ada seorangpun yang bisa membenarkan perbuatan untuk menghakimi mengenai keselamatan kekal seseorang pada masa sekarang ini. Sekali lagi, hanya Tuhan sajalah hakim yang sah untuk hal yang khusus itu. Dan hal itu pun baru akan dilakukan oleh-Nya pada hari terakhir atau pada hari kiamat nanti.

Tetapi apa yang dilakukan oleh banyak sekali orang Kristen sekarang ini (tidak sedikit juga di antaranya adalah tokoh-tokoh yang termasyur di dalam kekristenan) sangatlah bertolak belakang dengan apa yang sudah dikemukakan di atas itu tadi. Dengan begitu lancangnya mereka mengambil "palu hakim" itu (=ayat-ayat Alkitab yang menggambarkan mengenai penghakiman, yang nantinya akan dilakukan oleh Tuhan, yaitu pada pada hari terakhir) dari tangan Tuhan, lalu menjatuhkan penghakiman pada masa sekarang ini juga kepada orang ini dan orang itu sebagai orang yang "sudah diselamatkan" dan kepada pribadi-pribadi yang lainnya sebagai orang yang "belum diselamatkan".

Karena itu, saudara-saudara/i, sebagai kata penutup uraian ini, hakimilah apa yang memang bisa dan patut bagi kita untuk mengakiminya, (dan lakukan hal itu dengan tata-cara dan ketentuan yang semestinya), tetapi janganlah pernah menghakimi apa yang sudah bukan merupakan porsi (domain) kita lagi untuk menghakiminya, yaitu mengenai keselamatan atau nasib kekal seseorang di antara kita (sesama Kristen), apakah orang tersebut akan masuk ke surga atau ke neraka). "Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang." (1 Kor 4:5).

Demikian sajalah dulu uraian ini, semoga membawa pencerahan bagi kita semua! Amin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar