Senin, 16 November 2009

Bab. 3: Penyamun dan Sarang Penyamun



Penyamun. Apakah atau siapakah itu? Pencuri, penodong, perampok, penjahat, bandit, begal dan masih banyak lagi yang lainnya -- itu semua bisa kita masukkan menjadi satu golongan dengannya. Pokoknya, penyamun adalah orang(-orang) yang selalu menjadi pelaku kejahatan. Mereka mencari nafkah dan memenuhi keinginan-keinginan mereka dengan melakukan kejahatan.



Cerita Tentang Penyamun
dan Korbannya
Kalau saya mendengar kata “penyamun” maka, biasanya, ingatan saya akan terbawa pada cerita yang sangat  menawan di dalam Alkitab, yaitu cerita yang dituturkan oleh Tuhan Yesus sendiri, yang kita kenal -- dengan judul yang diberikan oleh LAI -- sebagai: “Orang Samaria yang murah hati” (Luk 10:30-35). Dalam cerita itu dikisahkan seorang yang melakukan perjalanan dari Yerusalem menuju ke Yerikho. Di tengah perjalanan dia dihadang dan diserang oleh penyamun-penyamun. Dia dipukuli hingga setengah mati dan seluruh hartanya dikuras habis oleh penyamun-penyamun itu. Suatu perlakuan yang sangat kejam dan betul-betul tidak manusiawi. Seperti itulah yang dilakukan oleh penyamun.
       Ceritanya sendiri memang belumlah berakhir sampai di situ saja. Bahkan, tokoh utamanya – orang Samaria yang murah hati itu — masih belum lagi muncul di panggung. Tetapi, untuk maksud kita di sini, tidak perlulah kita mengikuti ceritanya itusendiri sampai berakhir. Sebab tujuan kita dalam melihat cerita itu di sini bukanlah untuk menemukan makna ceritanya sendiri secara keseluruhan, tetapi hanya sekedar untuk mendapatkan gambaran yang hidup dan segar di dalam Alkitab mengenai para penyamun, ketika mereka menjalankan aksinya.
       Memang, kalau ceritanya kita penggal sampai di situ saja, judul “orang Samaria yang murah hati” itu sudah tidak cocok lagi. Karena itu, hanya untuk kepentingan kita di sini saja, judulnya kita buat saja menjadi: “cerita tentang penyamun dan korbannya.”
Ilmu Ketika Berhadapan
Dengan Penyamun
Ditinjau dari sisi korban, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan – kalau masih sempat atau memungkinkan untuk itu — ketika berhadapan dengan seorang/sekawanan penyamun.
        Pertama, memberi perlawanan. Mungkin, dia menguasai ilmu bela diri atau memiliki senjata yang bisa dia gunakan untuk membela dirinya dalam melakukan perlawanan itu.
        Kedua, melarikan diri. Ini tentu adalah hal yang sangat wajar untuk dilakukan, khususnya kalau yang pertama itu tidak bisa atau tidak berhasil dilakukan. (Ini pun termasuk salah satu “jurus” dari “ilmu bela diri” juga, kan?).
         Ketiga, minta pertolongan. Kalau yang pertama dan yang kedua itu tidak bisa atau masih belum berhasil juga, masih ada cara yang ketiga ini untuk dicoba. Yaitu, berteriaklah dengan sekeras-kerasnya untuk meminta pertolongan. Moga-moga aja ada yang mendengar dan bersedia (dan juga mampu) untuk menolong. Itulah ketiga hal yang bisa/mungkin untuk dilakukan ketika seseorang berhadapan dengan seorang atau sekawanan penyamun.
Teknik dan Strategi
Seorang Penyamun
Para penyamun itu sendiri tentunya sudah hapal banget dengan ketiga “ilmu” yang kemungkinan akan digunakan oleh orang yang hendak mereka jadikan sebagai sasaran mereka. Karena itulah, jika ditinjau dari sisi para penyamun itu, maka ada dua langkah yang akan mereka lakukan secara bertahap.
        Pertama, melumpuhkan korbannya. Yang dimaksud dengan itu adalah membuat korbannya menjadi tidak berdaya sama sekali. Terkadang, tindakan melumpuhkan itu – kalau mereka anggap perlu atau bisa saja secara tidak disengaja -- sampai membuat si korban itu kehilangan nyawanya. Biasanya, hal itu mereka lakukan dengan “menghujani” tubuh korbannya itu dengan pukulan-pukulan. Dan, tak jarang juga, khususnya jika mendapat perlawanan yang berarti dari pihak korban, mereka  pun tak segan-segan untuk menggunakan senjata yang mereka miliki terhadap sang korban. Pokoknya, mereka akan melakukan apa saja (yang menurut pertimbangan mereka diperlukan) untuk melumpuhkan orang yang menjadi calon korban mereka.
      Barulah, setelah korbannya tidak berdaya lagi, mereka pun akan melakukan langkah yang kedua, yaitu: mengambil semua miliknya yang berharaga. Mereka akan menguras habis semua barang-barang berharga milik si korban -- persis seperti dalam cerita yang dituturkan oleh Tuhan Yesus di atas tadi.


Tujuan Mempelajari
“Sepak Terjang” Para Penyamun
Apa perlunya kita menguraikan dengan panjang lebar mengenai “sepak terjang” dari para penyamun itu?     Setidaknya, hal itu bisa berguna untuk menambah kewaspadaan, kesiagaan dan kesigapan kita kalau-kalau suatu ketika kita sendiri dijadikan sasaran oleh (para) penyamun (penjahat). Tetapi, yang menjadi tujuan saya yang sesungguhnya (utamanya) dengan uraian itu adalah hal-hal yang akan saya sebutkan berikut ini.
       Gereja(-gereja) sekarang ini telah menjadi “sarang penyamun”. Sedangkan, penyamun itu di mana pun – baik yang ada di luar sana maupun yang di gereja — pada dasarnya sama saja, khususnya di dalam cara-cara dan tujuannya.
       Karena itu, dengan mempelajari sepak terjang dari (para) penyamun yang ada “di luar” sana, kita akan mendapat masukan yang sangat berharga (membantu) untuk mengenali (para) “penyamun” yang ada di gereja(-gereja) sekarang ini.
       Hal itu menjadi lebih penting lagi, karena para “penyamun” yang ada di gereja-gereja sekarang ini, bekerja dengan cara yang terselubung. Mereka itu bukan saja tidak kelihatan seperti penyamun. Lebih dari itu, mereka bahkan dilihat dan dipuji-puji oleh banyak orang sebagai orang-orang yang “saleh”, “penuh dengan Roh Kudus”, sangat “diurapi” dan “diberkati“ oleh Allah.
       Dapat dibayangkan, betapa mereka itu saat ini sedang berada di dalam posisi yang aman dan tak tersentuh (untouchable). Siapa yang berani menggugat mereka atau berkata-kata yang miring tentang mereka? Nyaris tidak ada.
       Bahkan, dari pada mempertanyakan atau menyangsikan ketulusan dan kebenaran mereka itu, banyak orang yang justru sedang meng-elu-elukan dan meng-arak-arakkan beberapa dari mereka itu, ke mana saja mereka datang/berkunjung sekarang ini.
       (Masing-masing dari mereka itu diperlakukan tak ubahnya seperti seorang kepala negara, atau seorang pahlawan yang sangat berjasa bagi bangsa/negara atau  seorang “rock-star”. Jadi, bisalah juga dibayangkan, betapa beresikonya apa yang sedang saya lakukan sekarang ini -- yang tak ubahnya seperti sedang menentang arus yang sangat besar dan sedemikian derasnya -- dengan mengungkapkan hal-hal ini!).
        Jadi, satu-satunya jalan bagi kita untuk bisa mengenali para “penyamun” di gereja itu adalah dengan cara melihat persamaan (kemiripan) yang mereka miliki dengan para penyamun yang ada di luar sana, yaitu persamaan di dalam ciri-ciri dasarnya atau prinsip kerjanya.
       Dari uraian di atas tadi tentang “sepak terjang” dari para penyamun itu, kita bisa menyimpulkan begini mengenai penyamun: Para penyamun itu selalu hanya bertujuan untuk Mengambil (atau merampas) harta milik orang lain, dengan jalan melumpuhkan sang pemiliknya terlebih dahulu.
       Marilah kita bawa apa yang telah kita pelajari mengenai para penyamun yang ada “di luar” ini untuk mendeteksi kehadiran dan aktifitas dari para “penyamun” yang ada “di dalam”, yaitu di gereja(-gereja) kita sekarang ini. Kita akan memfokuskan perhatian pada dua kata kunci yang terdapat di sana, yaitu: mengambil dan melumpuhkan
Mengambil
Saya memulainya dari kata “mengambil” di sini (bukan dari kata “melumpuhkan) karena kata “mengambil” inilah yang mewakili apa yang merupakan tujuan utama dari para penyamun itu (sementara, kata “melumpuhkan” itu hanyalah menunjuk kepada teknik atau strateginya saja). Kata “mengambil” ini juga dengan tepat sekali melukiskan karakteristik dari para “penyamun” yang ada di gereja-gereja sekarang ini. Sebab, dengan semua balutan agama atau “kerohanian”, yang menyilaukan itu, mereka sebenarnya hanya memiliki satu tujuan saja di dalamnya, yaitu: Mengambil sebanyak-banyaknya (yang bisa dan berharga untuk diambil) dari apa yang dimiliki oleh para anggota jemaat mereka.
       Karena itulah mereka sangat mengupayakan supaya jumlah anggota jemaatnya bisa terus saja mengalami pertambahan atau “pelipatgandaan”. Dan, tentu saja, untuk itu mereka akan memberikan alasan-alasan yang “sangat rohani” dan mulia. Yaitu, antara lain: “itu sesuai dengan keinginan hati Allah yang terdalam, yang menghendaki supaya tidak seorang pun yang binasa”, “untuk memenuhi Amanat Agung Kristus”, “demi kemuliaan Tuhan”, dst.
       Tetapi, minat mereka yang sesungguhnya, dalam memiliki jumlah anggota jemaat yang banyak itu, terutama adalah demi keuntungan bagi diri mereka sendiri (sedangkan semua demi…,demi... yang [mulia] lainnya itu, cuma berada di urutan yang berikut-berikutnya saja). Sebab, sudah sangat jelaslah, jika ditinjau dari sudut kepentingan mereka, maka jumlah anggota jemaat yang banyak itu akan lebih baik (baca: menguntungkan). Dan, semakin banyak jumlahnya, semakin baik pulalah itu buat mereka. Sebab, dengan demikian, tentunya, akan semakin lebih banyak lagilah  yang terhadapnya mereka bisa menjalankan proyek “mengambil” itu.
       Terutama sekali, usaha-usaha yang intensif (dan ekstensif!) akan ditujukan untuk “memenangkan” orang-orang yang berada ( atau kaya/berkedudukan/berpengaruh). Untuk orang-orang yang seperti itu, segala daya upaya akan dikerahkan, sampai mereka mau bergabung menjadi anggota atau, setidaknya, menjadi “partner” pelayanan untuk gereja itu (maklumlah, itu kan merupakan “tangkapan yang besar”!).
Cerita tentang Gembala yang Baik
dan Gembala yang Palsu
Jika berbicara mengenai soal “mengambil” ini, saya selalu teringat kepada sebuah cerita yang lain dari Alkitab, yang juga dituturkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Cerita yang saya maksudkan itu adalah cerita mengenai “Gembala yang baik” yang terdapat di dalam Injil Yohanes (Yoh 10:1-18). Di dalam cerita itu Yesus membandingkan antara “Gembala yang baik”, yang tak lain adalah menggambarkan diri-Nya sendiri, dengan mereka yang “bukan gembala” (ay. 12) atau para pekerja “upahan” (ay. 13), atau kita sebut saja mereka itu sebagai para “gembala palsu”.
       Jika kita menelusuri ayat-ayat itu, khususnya mulai dari ayat 10 sampai ayat 18, kita bisa melihat perbedaan yang tajam sekali yang dibuat oleh Yesus antara “Gembala yang baik” dan “gembala-gembala palsu”[1] di sana. Dan perbedaan yang sangat tajam itu dapat kita simpulkan dalam dua kata yang berikut: memberi dan mengambil.  “Gembala yang baik” itu berfokus pada memberi. Sedangkan “gembala-gembala palsu” itu berfokus pada mengambil. Ini adalah saat yang tepat bagi para gembala di gereja-gereja sekarang ini, untuk mengajukan pertanyaan bagi diri  sendiri, seperti ini: Apakah saya selama ini adalah seorang gembala yang baik, seperti Yesus, yang berfokus pada memberi? Atau, adalah seorang gembala palsu yang berfokus pada mengambil?
Ayat Alkitab yang
Sering di-Salah-artikan
Ayat 10 menjadi ayat yang sangat terkenal sekarang ini.
Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.
        Cuma saja, ketenaran ayat ini disertai dengan cacat pemahaman yang sangat serius. Ada dua kata dari ayat ini yang pada umumnya disalah fahami atau di salah artikan, yaitu kata “pencuri” dan kata “kelimpahan”. Untuk tujuan kita di sini, kita hanya akan mengoreksi yang pertamanya saja.
       Banyak orang yang keliru selama ini dengan mengatakan bahwa kata “pencuri” itu menunjuk kepada Iblis. Saya menduga, hal ini bukanlah hanya sekedar kekeliruan biasa (karena kelemahan/kesilapan manusiawi semata), tetapi nampaknya hal ini (oleh orang-orang tertentu) memang sengaja dikelirukan sedemikian rupa. Mungkin hal itu hanya supaya lebih cocok dengan ajaran kesukaannya. Atau, yang lebih serius lagi, yaitu supaya kejahatannya tidak disoroti. Sebab memang, ayat-ayat Alkitab yang khusus ini sebenarnya sedang membicarakan mengenai “gembala-gembala palsu” (yang dikontraskan dengan “Gembala yang baik”).
       Sudah dapat dipastikan “gembala-gembala palsu” itu sangat tidak menyukai apa yang diungkapkan di dalam ayat-ayat ini, sebagaimana adanya. Hanya tidak mungkin saja bagi mereka untuk melarang umat membaca ayat-ayat itu atau mengatakan bahwa khusus ayat-ayat itu bukanlah firman Tuhan – sebab orang-orang tidak akan mempercayainya. Karena itu, jalan satu-satunya adalah dengan merubah pengertiannya, yaitu dengan mengatakan bahwa “pencuri” itu menunjuk kepada Iblis. Hasilnya: Orang-orang sekarang ini jadi tidak menyoroti sepak-terjang dari para “gembala palsu” itu, tetapi menjadi teralihkan perhatiannya kepada “Iblis”.
  
“Iblis” Ciptaan para Gembala Palsu
dan Iblis yang Sebenarnya
Saya sengaja menuliskannya “Iblis” (dengan tanda petik ganda) di sana, karena sesungguhnya itu hanyalah “Iblis” yang mereka ciptakan, bukan Iblis yang sebenarnya. Tahukah Anda Iblis yang sebenarnya itu saat ini sedang berada di mana? Iblis yang sebenarnya sesungguhnya  sedang bekerja di dalam dan melalui mereka (para “gembala palsu” itu). Dia bekerja dengan begitu leluasanya, tanpa halangan yang berarti. Sebab orang-orang Kristen telah disibukkan dengan memerangi “Iblis” hasil rekaan atau ciptaan para “gembala” palsu itu. Saudaraku, “peperangan rohani” yang Anda lakukan dengan begitu giatnya selama ini, ternyata kebanyakannya (untuk tidak mengatakan semuanya) adalah salah sasaran. Anda telah tertipu dengan “menembaki” sasaran yang semu.
       Apakah sekarang Anda sudah melihat siapakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan “pencuri” di dalam Yohanes 10:10 itu? Ya, benar! Memang para “gembala” palsu itulah yang disebut Yesus sebagai “pencuri” di sana. Perhatikanlah khususnya ayat 8:
Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka.
        Terjemahan dalam bahasa Indonesia kita, seperti yang dikutip di atas, berbunyi lebih jelas dari pada dalam beberapa terjemahan lainnya (mis: KJV dikatakan “All who…”). Di sini langsung dikatakan “semua orang…”, yang jelas menunjuk kepada manusia, bukan kepada mahluk roh/Iblis.

       Terlepas dari situ pun, kita masih bisa mendapatkan hasil yang sama juga (yaitu bahwa yang diacu oleh Yesus di sana bukanlah Iblis, melainkan orang), dengan cara yang lain lagi. Salah satunya adalah dengan memperhatikan (menimbang dari) konteksnya. Seperti yang telah kita lihat tadi bahwa di sini Yesus sedang membandingkan dua pihak. Pihak yang pertama adalah diri-Nya sendiri, yang digambarkan-Nya sebagai “Gembala yang baik”. Dan, pihak yang kedua adalah mereka yang disebut-Nya sebagai “gembala-gembala palsu”. (Perlu dicatat bahwa di dalam perikop ini sama sekali tidak ada singgungan terhadap dan  mengenai Iblis dan roh-roh jahat.) Karena itu, yang dimaksudkan oleh Yesus dengan “pencuri” itu (baik di dalam ayat 8 maupun di ayat 10) hanya mungkin ditujukan kepada satu sasaran saja, yaitu mereka yang disebut-Nya sebagai “gembala-gembala palsu” itu. Mengarahkannya kepada iblis jelas-jelas adalah sangat tidak beralasan.
       Pencuri adalah variasi lain dari penyamun – perbedaan di antara keduanya hanyalah dalam gaya-nya saja. Baik pencuri maupun penyamun, tujuannya satu dan sama saja, yaitu: mengambil milik orang lain untuk menjadi miliknya.
       Saya senang mengakhiri bagian ini dengan mengutipkan kata-kata dari Dr. Bloomer, sebagai yang berikut ini.
Beberapa pendeta terus-menerus mengajarkan tentang kemakmuran, sementara sebagian besar jemaat mereka tetap miskin. Sebelumnya perlu saya katakan: ketika tokoh pemegang otoritas menuntut jemaat untuk terus-menerus memberi, tetapi ia tidak pernah memberikan apa pun sebagai balasan kepada mereka yang di bawahnya, ini sama dengan pelecehan. Jika pada suatu kesempatan Anda mendengar Injil yang bekerja hanya untuk sebagian kecil orang-orang, maka Anda harus curiga, sebab Allah tidak memandang muka. Sesungguhnya, pendeta-pendeta tersebut menjadi kaya bukan karena mereka bangun setiap pagi untuk pergi bekerja, melainkan karena mereka mengambil apa yang diberikan jemaat kepada mereka.
   Pemimpin-pemimpin semacam ini menggunakan Allah sebagai umpan di dalam kedok propaganda mereka, “lakukanlah hal ini untuk saya secara cuma-cuma; dan biarkan Tuhan memakai Anda.” Mereka mengajarkan bahwa cara untuk menjadi makmur adalah dengan memberi, memberi, dan terus memberi – mereka tidak pernah mengajarkan tentang tanggung jawab, menabung, dan berdisiplin menurut cara Allah. Ada beberapa gereja di mana pendetanya begitu serakah sehingga ia terus-menerus menekan dan menakut-nakuti jemaat untuk memberi lebih banyak lagi – sementara ia terus-menerus mengambil dan memakai lebih banyak lagi untuk dirinya sendiri, ia juga memimpin gereja besar, memperkaya diri dan memamerkan mobil mewahnya yang terparkir tepat di depan pintu masuk gereja. [2]
Melumpuhkan
Melumpuhkan berarti membuat korbannya menjadi tidak berdaya sama sekali. Biasanya, para penyamun melakukannya dengan memukul korban, baik dengan tangan (atau anggota tubuh lainnya) maupun dengan menggunakan alat pemukul. Cara lain, yang lebih “halus”, adalah dengan menodongkan senjata kepada korban – ini juga adalah cara untuk membuat korban menjadi “lumpuh” atau tidak berdaya.
  
Menjernihkan Penilaian Kita
Ada dua hal yang perlu dijernihkan ketika kita membicarakan mengenai tindakan melumpuhkan ini. Pertama, tidak selalu tindakan melumpuhkan itu dilakukan dengan cara-cara yang kasar atau terlihat kejam. Memang, dalam cerita dan uraian di depan tadi, kita melihat para penyamun itu menggunakan cara yang kasar dan nyata-nyata kejam untuk melumpuhkan korbannya. Tetapi, cara seperti itu bukanlah cara satu-satunya atau sudah merupakan sebuah cara yang standard untuk digunakan oleh para penyamun – kapan saja, dimana saja dan terhadap siapa saja yang menjadi korbannya. Bukan begitu. Cara yang digunakan akan selalu disesuaikan dengan: 1) Keadaan/kemajuan zaman, 2) Kepribadian penyamunnya, 3) Kondisi calon korban, 4) Situasi dan kondisi di sekitar pada waktu/saat itu.
       Dalam hal apapun, kalau kita mau berhasil sekarang ini, salah satu rumusnya yang sangat menentukan adalah: Kita harus menggunakan cara-cara yang sesuai (atau disesuaikan) dengan zaman sekarang ini. Sebab cara-cara yang dulu (se-efekfif apapun itu dulu) hanya cocok untuk digunakan pada zaman itu dan tidak akan cocok lagi untuk digunakan sekarang ini, sebab kondisi-kondisi yang ada sekarang ini sudah tidak seperti yang dulu lagi. Juga, hal itu hanya akan menjadi semacam trik yang sudah basi, yang orang-orang semua sudah hafal, jadi tidak akan termakan lagi dengannya (kecuali tentunya orang-orang yang sudah kelewat bodohnya). Para penyamun – yang efektif — sekarang ini, tahu dan pada umumnya sudah menggunakan “rumus” itu dengan sebaik-baiknya. (Pikiran saya sekarang jadi melantur begini: Orang-orang Kristen yang sangat giat beribadah tetapi hidupnya terus hanya begitu-begitu saja, tidak ada peningkatan, suka mengeluh: “kok, Tuhan belum juga memberkati”! Sebenarnya bukan karena Tuhan yang belum memberkati, tetapi lebih karena mereka yang kurang berusaha seperti para penyamun yang efektif itu).
       Tidak semua penyamun punya kepribadian yang (tampilannya) keras atau kejam terhadap orang lain. Banyak juga mereka yang ternyata sangat bagus dalam bersosialisasi – ramah, sopan, tutur katanya lembut dan enak untuk diajak ngobrol. Tapi, awas, jangan sampai Anda menjadi lengah atau terlena karena tampilannya yang seperti tidak berbahaya itu. Sebab, selembut apapun perkataan dan perbuatannya kepada Anda, dia (mereka) itu tetaplah penyamun. Bisa saja, Anda pun akan dimangsanya.
       Sebelum melakukan penyerangan, seorang penyamun (yang efektif) selalu melakukan pengamatan yang jeli/cermat terlebih dahulu mengenai kondisi calon korbannya. Berdasarkan hasil pengamatan itulah mereka akan merancang dan menentukan cara apa yang paling sesuai dan efektif untuk bisa melumpuhkan calon korban itu. Barulah setelah mereka hakulyakin atas suatu cara tertentu, mereka pun melakukannya terhadap target/korban. Mungkin cara yang dipilih itu adalah cara yang kasar dan terlihat kejam, tetapi bisa juga cara yang sangat halus, yang lebih mengandalkan penggunaan akal atau kecerdikan, tanpa kekerasan fisik sama sekali. (Contohnya: dengan memasukkan obat penidur atau racun di/ke dalam gelas minuman orang yang menjadi target).
       Situasi dan kondisi di sekitar saat itu juga memegang peranan untuk pemilihan cara yang akan digunakan oleh para penyamun. Mereka tidak akan dengan gegabah atau secara sembarangan saja, misalnya, ketika mereka merasa senang untuk melakukannya, mereka pun melakukannya. Tentulah tidak begitu. Mereka pun akan dengan penuh perhitungan melakukannya, yaitu dengan merancang sebelumnya suatu cara yang cocok dan yang diyakini akan efektif jika dilakukan pada waktu, tempat dan orang tertentu itu. Tetap saja, akan ada dua kemungkinan untuk cara yang akan mereka tempuh itu, yaitu: cara yang kasar/ terlihat kejam atau cara yang halus/lembut, tanpa terlihat adanya kekerasan sama sekali.
        Yang kedua, tindakan melumpuhkan itu bukanlah yang menjadi tujuan dari para penyamun. Seperti yang sudah dikatakan tadi bahwa tujuan dari para penyamun hanyalah satu saja: Mengambil milik orang lain. Kalaupun, dalam prosesnya mereka melakukan tindakan melumpuhkan korbannya, tindakan itu sendiri hanyalah sekedar sebagai suatu cara yang harus ditempuh, demi mendapatkan tujuan itu.

Para Penyamun pun Manusia Biasa
dan Menjalani Hidup yang Normal/Wajar
Akan menjadi sesuatu yang berlebihan bila kita mengira bahwa semua penyamun itu  adalah orang-orang yang kejam (sadis), yang mendapatkan kepuasan dengan melakukan kekejaman terhadap korbannya. Itu tidak sepenuhnya benar. Sebab, mereka juga manusia, bukan Iblis. Perbuatan melumpuhkan itu, mereka lakukan, lebih karena suatu keharusan dari pada kesenangan. (Mungkin ada kekecualian di dalam hal ini, tetapi jumlahnya tidaklah banyak dan pada umumnya orang-orang itu memang menderita sakit jiwa yang parah). Tujuan mereka hanyalah, seperti yang sudah dikatakan di atas tadi, mengambil milik orang lain. Mengapa? Karena mereka membutuhkannya.
       Kebanyakan dari mereka akan menggunakan apa yang didapatkan itu sebagai penyambung hidup, baik itu untuk diri sendiri dan (sangat sering) juga untuk keluarganya. Sebagiannya memang menggunakannya untuk sekedar bersenang-senang atau berfoya-foya.
       Para penyamun (dan semua penjahat lainnya) disebut jahat bukanlah karena mereka itu sudah sama sekali jahat. Sama seperti orang-orang yang lainnya, mereka pun bekerja atau berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Perbedaannya hanyalah pada hal ini: Mereka menggunakan cara atau jalan yang merugikan orang lain dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya itu.
        Selebihnya, mereka adalah manusia biasa dan menjalani hidup yang normal/wajar, sama seperti Anda dan saya. Mereka, misalnya, akan membantu membawa ke rumah sakit tetangganya yang tiba-tiba terserang penyakit, berkontribusi untuk kebersihan/keamanan dilingkungannya, menggendong atau memandikan anak-anaknya, dsb.

Agar Kita Tidak Keliru Dalam Menilai dan Mengenali
Dengan mengatakan seperti yang di atas itu, mungkin bagi beberapa orang hal itu terbaca sepertinya saya sedang membela para penyamun tersebut? Pastilah bukan begitu. Sebenarnya, saya hanya bermaksud untuk mendudukkan persoalannya pada tempatnya. Hal ini penting dilakukan. Sebab, kalau tidak, maka pemahaman kita akan penyamun itu akan melenceng atau tidak akurat. Dan, karenanya, tidak dapat diandalkan sebagai acuan.        
       Apa yang terjadi nanti (sebenarnya, sudah banyak kali terjadi selama ini) bisa seperti ini: Orang-orang yang memiliki sifat-sifat atau perilaku yang kasar dan cenderung anti sosial (yang, sebenarnya, karena mengalami problem-problem emosional, sehingga mereka, misalnya: menjadi pemarah, garang/galak, suka berkelahi/memukul orang, kasar terhadap istri dan anak-anaknya dan/atau kepada semua orang, atau tampangnya sangar/seram [karena brewokan?]), akan secara keliru dianggap sebagai penyamun.
       Sebaliknya, orang-orang yang, sebenarnya dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya, melakukan cara-cara yang curang dan merugikan orang lain, tetapi karena memiliki penampilan yang “manis” (misalnya: mengurus istri dan anak-anaknya dengan baik, sering memberikan bantuan atau sumbangan, rajin mengikuti kegiatan-kegiatan ibadah), gagal dilihat  sebagai  penyamun atau penjahat.
       Karena itu, janganlah kita terperangkap ke/di dalam cara melihat atau menilai yang keliru seperti itu, yang memandang kejahatan hanya dari penampilan luarnya -- yang kasar — saja. Sehingga, akan gagal memahami kejahatan yang sesungguhnya atau mengenali orang jahat (penyamun) yang sebenarnya. Terlebih lagi di dalam konteks yang menjadi sorotan kita sekarang di sini, yaitu: untuk mengungkapkan  tindakan-tindakan kejahatan di dalam gereja, khususnya yang dilakukan oleh para pendeta/gembala. 

Penyamun yang Lebih Canggih,
Lebih Licik dan Lebih Kejam
Jadi, penyamun atau penjahat yang hendak kita periksa di sini adalah orang-orang yang sehari-harinya bekerja sebagai pendeta/gembala di gereja.
       Anda pastilah tidak akan menemukan para pendeta/gembala yang, misalnya, menodong jemaatnya dengan menggunakan sebilah kelewang atau sepucuk pistol. Atau, misalnya lagi, seorang pendeta yang memukul dan menendang tubuh anggota-anggota jemaatnya sedemikian rupa, sampai mereka bersedia membayar persepuluhan mereka untuk bulan itu. Saya percaya, tidak ada pendeta/gembala yang melakukan tindakan yang seperti itu. (Atau, kalau Anda mengetahui ada pendeta/gembala yang melakukan perbuatan seperti itu, beritahu kepada saya. Saya pasti akan datang bersama serombongan polisi untuk menciduk dan menjebloskannya ke dalam penjara. Atau, Anda laporkan sajalah sendiri ke pos polisi terdekat. Sebab hal itu sudah merupakan suatu tindakan kriminal!).
       Tetapi, sekalipun sangat disayangkan jika ada pendeta/gembala yang melakukan kejahatan yang dengan nyatanyata terlihat seperti itu, itu bukanlah jenis/bentuk kejahatan atau pelaku kejahatan yang kita selidiki di sini.
       Jika dibandingkan dengan jenis kejahatan dan pelakunya yang kita maksudkan di sini, bentuk dan pelaku kejahatan yang “kasar” dan nyata-nyata seperti itu, bisa dikatakan, masih belum ada apa-apanya. Sebab, sesungguhnyalah, para pelaku kejahatan yang kita periksa di sini dan jenis kejahatan yang mereka perbuat, dalam segalanya, melampaui yang disebutkan belakangan itu. Kejahatan dan pelakunya di sini jauh lebih:
  • Canggih – karena menggunakan teknik-teknik psikologis yang mutakhir atau yang terus saja diperbarui atau ditingkatkan;
  • Licik – karena tidak kentara atau tidak terlihat dengan nyata kejahatannya;
  • Kejam dan merusak/menghancurkan – karena kejahatan itu dilakukan dengan terus-menerus -- tiada henti-hentinya. (Sampai nanti akhirnya si korban hanya tinggal sebagai “ampas” saja, sehingga kemudian akan “dibuang” begitu saja. Sementara itu, sebelum sampai ke sana, si korban tidak menyadari kalau dia sebenarnya sudah atau sedang dijahati. Malahan, ironisnya, seringkali dia justru merasa sangat kagum dan begitu berhutang budi kepada si pelaku dan menghormati si pelaku itu sebagai seorang “hamba Tuhan”, yang khusus “dikirim” dan “dipakai” oleh Tuhan untuk “menggembalakan” diri dan hidupnya, supaya selalu berada di “jalan yang berkenan kepada Tuhan”).
 
“Sarang Penyamun” itu adalah
Kondisi Gereja Secara Keseluruhan
Sekarang Ini
Saya bukannya mau menuduh atau bermaksud menjelek-jelekkan gereja-gereja tertentu. Buku ini tidaklah dimaksudkan untuk mendukung atau pun menjatuhkan aliran atau denominasi tertentu di dalam kekristenan. Saya menulis buku ini dengan keprihatinan dan dukacita yang mendalam (dan, jangan lupa, kemarahan yang besar!) terhadap kondisi dari gereja-gereja Kristen secara keseluruhan sekarang ini.
       Sebagaimana halnya Bait Allah dulu pernah dibuat menjadi “sarang penyamun” (antara lain dalam Mat 21:13), begitu jugalah sekarang gereja (-gereja) telah dibuat menjadi “sarang penyamun”. Jadi, “sarang penyamun” itu adalah kondisi Gereja Kristen secara keseluruhan sekarang ini. Itu berarti: baik yang Katolik Roma maupun yang Protestan, yang Injili (fundamentalis-konservatif) maupun yang non-Injili (Neo-ortodoks-Liberal), baik yang Pentakosta-Kharismatik maupun yang non-Pentakosta-Kharismatik – tidak ada yang terkecuali! (Saya akan sangat kecewa kalau tulisan saya ini digunakan untuk saling menuding satu dengan yang lain di antara gereja-gereja, dengan mengatakan bahwa yang lain itu adalah “sarang penyamun”. Kalau itulah yang terjadi, berarti kita sudah benar-benar menjadi bebal. Kiranya, tidak terjadi yang seperti itu!).
       Sungguh, sebenarnya sangat tidak enak bagi saya sendiri untuk membicarakan atau mengungkapkan mengenai hal ini (bahwa di gereja-gereja sekarang ini banyak sekali terjadi tindak kejahatan). Tetapi, saya bukanlah satu-satunya orang yang menulis mengenai topik yang seperti ini. Ada cukup banyak buku (penulis) yang juga mengangkat topik tentang kejahatan-kejahatan yang dilakukan (khususnya oleh para pemimpin) di gereja-gereja sekarang ini. Salah satu buku yang tergolong “sangat berani” di tulis bersama oleh David Johnson dan Jeff VanVonderen dengan judul “The Subtle Power of Spiritual Abuse” (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Kuasa Terselubung Dari Pelecehan Spiritual dan diberi sub-judul: Mengenal dan Menghindari Manipulasi Spiritual dan Otoritas Spiritual Palsu di Dalam Gereja, oleh penerbit Nafiri Gabriel. Saya sangat menganjurkan agar semua orang Kristen (termasuk para pendeta/gembala, tentunya) membaca buku itu (bersama dengan buku saya ini) dan mempelajari isinya dengan baik-baik. Sebab, walaupun di dalamnya terdapat hal-hal yang akan menyakitkan bagi orang-orang tertentu di dalam gereja, tetapi saya percaya, gereja-gereja sekarang ini memang memerlukan  apa yang disampaikan di dalam buku itu (yang bagaikan sebilah pisau di tangan seorang ahli bedah, yang menyayat dan memotong di bagian mana yang dirasa (diyakininya) perlu, untuk mengangkat tumor yang ganas dari tubuh pasiennya).
       Sekedar sebagai contoh, berikut ini adalah kutipan yang diambil dari buku itu.
…mereka yang menduduki jabatan otoritas spiritual bisa menghancurkan kepercayaan kita. Adalah hal yang mungkin bahwa Anda sedemikian rupa mempertahankan kedudukan otoritas spiritual, suatu doktrin, atau cara melakukan sesuatu, sehingga Anda melukai dan menganiaya siapa saja yang bertanya, atau tidak setuju, atau tidak “bersikap” spiritual seperti yang Anda inginkan. Bila perkataan dan tindakan Anda menghancurkan orang lain, menyerang, atau melemahkan keberadaan seseorang sebagai seorang Kristen – untuk memuaskan diri Anda, jabatan Anda, atau keyakinan Anda sementara pada saat yang bersamaan melemahkan atau menyakiti orang lain – itu adalah pelecehan spiritual.
       Ada sistem-sistem spiritual di mana orang-orang sama sekali tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, bagaimana perasaan mereka dan apa yang mereka butuhkan atau perlukan. Kebutuhan orang-orang tidak terpenuhi. Di dalam sistem-sistem ini, anggota-anggota harus memenuhi kebutuhan para pemimpin. Kebutuhan akan kekuasaan, kepentingan, keintiman, nilai – sungguh, kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan diri sendiri. Para pemimpin ini berusaha mendapatkan kepuasan melalui penampilan religius dari orang-orang yang seharusnya mereka layani dan mereka bangun. Ini adalah suatu pembalikan di dalam tubuh Kristus. Ini adalah pelecehan spiritual. (David Johnson dan Jeff VanVonderen, Kuasa Terselubung Dari Pelecehan Spiritual, hal. 29-30).
        Buku-buku lainnya, yang juga mengangkat topik yang masih senada dan juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain: Penyalahgunaan Otoritas Rohani, oleh George Bloomer, Metanoia (yang ini sudah saya sebutkan di depan tadi, ketika saya mengutip darinya); Menyingkap Praktek Sihir di dalam Gereja, oleh Rick Godwin, Metanoia.
       Tujuan dari pengungkapan praktek-praktek kejahatan di dalam gereja ini tentulah bukan untuk mempermalukan gereja-gereja atau pun para pendeta dan pemimpin rohani lainnya (yang mana pun itu). Sebab, jangankan sebagai pendeta, sebagai orang Kristen biasa saja pun, tentunya saya sendiri akan ikut merasa dipermalukan juga, jika gereja(-gereja) dipermalukan. Saya atau, lebih tepatnya, kami (sebab seperti yang telah saya tunjukkan di atas bahwa tidak hanya saya saja yang menulis mengenai topik seperti ini) menuliskan hal-hal ini adalah karena didorong oleh keprihatinan yang sangat besar karena melihat kondisi gereja-gereja sekarang ini, yang sangat menyedihkan.
Pertumbuhan Gereja?
Sebenarnya Hanyalah Pertumbuhan
Bisnis para Pendeta Belaka!
 Di luarnya saja kelihatan gereja-gereja sekarang ini sepertinya banyak yang mengalami “kebangunan” atau “pertumbuhan” (bahkan ada yang memakai ungkapan “ledakan pertumbuhan gereja”). Tetapi, di dalamnya menyimpan banyak sekali tindakan kejahatan.
       Apa yang dipermukaan kelihatan sebagai “pertumbuhan gereja” sekarang ini, jika dilihat dari sisi dalamnya, sebenarnya hanyalah merupakan “pertumbuhan bisnis (para) pendeta” belaka. Kita bisa menyaksikan sendiri sekarang ini, betapa para pendeta (yang gerejanya “bertumbuh”) itu menjalani gaya hidup yang tak ubahnya seperti seorang pengusaha besar yang sukses. Atau, sebagiannya lagi bahkan hidup secara “glamour” bak para selebriti. Dan, gaya hidup yang seperti itu mereka jalankan dengan bergantung (hanya) pada pemberian atau uang persembahan atau persepuluhan dari anggota-anggota jemaatnya.
  
Pendeta Berbisnis –Yes!;
Pendeta Membisniskan Pelayanannya –No!
Sebenarnya, saya sendiri tidak berkeberatan terhadap pendeta/gembala yang bisa menikmati hidup yang senang (berkelimpahan?). Pendeta/gembala juga manusia, bukan? Jadi, mereka pun layak juga untuk “makan yang manis” dari kehidupan ini (bukan yang “asam” dan yang “pahit”-nya saja!). Asalkan, dia punya dasar yang benar dalam menuntut untuk mendapatkan hidup yang senang itu. Janganlah dia menuntut (mengharapkan) hal itu dari pelayanannya. Kalau dia melakukan yang demikian itu, jelas dia sudah menyimpang. Sebab, pelayanan itu adalah tempat yang ke/di dalamnya kita memberi, bukan tempat yang dari dalamnya kita (berharap untuk) menerima.
       Jadi, dari manakah sepatutnya seorang pendeta/gembala mendapatkan hal-hal yang diperlukannya untuk bisa menjalani (menikmati) hidup yang senang itu? Sama saja dengan orang-orang yang lainnya, yaitu dari mengelola usaha/bisnis atau bekerja. Perhatikanlah lagi apa yang selanjutnya dikatakan oleh Dr. Bloomer, setelah mengatakan seperti yang dikutipkan di depan tadi, dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh yang patut untuk kita ikuti, sebagai yang berikutnya ini.
Saya memimpin Bethel Family Worship Center selama lima tahun tanpa gaji, tetapi keluarga kami selalu terpelihara dan kebutuhan kami selalu terpenuhi. Mengapa bisa? Sebab kami tidak bergantung kepada jemaat untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Saya memiliki beberapa jenis usaha dan saya mengambil dari saku saya sendiri untuk membangun dan merenovasi sebuah bait Allah terlebih dahulu. Satu-satunya tujuan saya hingga saat ini ialah memberi pelayanan firman Allah dan mengajar jemaat untuk mempersembahkan waktu, talenta, dan keuangan mereka dengan sukacita dan memperbaiki kehidupan mereka secara bersamaan. (Bloomer, Op. cit., hal. 68)
       Pendeta/gembala tidaklah salah, bahkan sepatutnya bekerja/berbisnis (kalau dia memang mau menikmati kehidupan yang senang, dengan jalan yang layak. (Jangan dibalik menjadi: Mau menikmati hidup yang layak, dengan jalan yang senang). Seperti yang dicontohkan oleh Dr. Bloomer di atas itu atau seperti yang  diteladankan  oleh rasul Paulus sebagai yang berikut ini. 
Sebab kamu sendiri tahu, bagaimana kamu sendiri harus mengikuti teladan kami, karena kami tidak lalai bekerja di antara kamu, dan tidak makan roti orang dengan percuma, tetapi kami berusaha dan berjerih payah siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapa pun di antara kamu. Bukan karena kami tidak berhak untuk itu, melainkan karena kami mau menjadikan diri kami teladan bagi kamu, supaya kamu ikuti. Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Orang-orang yang demikian kami peringati dan nasihati dalam Tuhan Yesus Kristus, supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri. (1 Tes 3:7-12).
       Jadi, jelaslah bahwa pendeta/gembala itu boleh berbisnis atau bekerja (untuk memenuhi keperluan hidupnya sendiri dan juga pelayanannya). Lalu, apa yang tidak boleh? Yang tidak boleh -- dan sangat terlarang untuk dilakukan oleh seorang pendeta/gembala – adalah membisniskan pelayanan mereka. Atau, dengan kata lain, mereka tidak boleh melihat atau menjadikan pelayanan rohani mereka itu sebagai bisnis mereka.
       Sayangnya, hal yang sangat buruk, yang disebutkan terakhir itulah, yang sangat banyak terjadi sekarang ini. Dan, itu akan terus berlangsung, jika tidak terjadi reformasi di dalam hal ini. (Di dalam bab 7 buku ini nanti akan ada bagian khusus yang membahas mengenai salah satu poin yang sangat penting dalam rangka reformasi gereja yang sebenarnya ini).
Rangkuman Singkat
Melalui pembahasan di dalam bab ini, kita telah diperkenalkan kepada (para) penyamun dan cara-cara kerja mereka. Baik itu penyamun-penyamun yang berada “di luar” sana, terlebih lagi “penyamun-penyamun” yang ada di dalam gereja-gereja sekarang ini, yang tidak lain mereka itu adalah para pendeta/gembala gereja-gereja itu sendiri pada umumnya.
       Dan, kita juga telah menjadi maklum bahwa “sarang penyamun” itu adalah menunjuk kepada gereja-gereja sekarang ini atau merupakan kondisi dari gereja-gereja sekarang ini secara keseluruhannya, tanpa ada yang terkecuali.
       Jadi, bab 2 ini, ditambah juga dengan bab 1, bolehlah dianggap sebagai suatu deskripsi secara umum mengenai keadaan dari gereja-gereja secara keseluruhan sekarang ini, yang sudah jatuh terlalu jauh dan (karena itu) memerlukan suatu reformasi (yaitu rerformasi gereja yang sebenarnya) untuk mengembalikannya lagi atau membawanya menuju kepada tempat atau keadaannya yang sesungguhnya atau sebenarnya (fitrahnya).
       Di dalam kedua bab yang selanjutnya nanti kita akan mengupas, mengorek dan mendalami praktek-praktek yang secara umum dilakukan di dalam gereja-gereja sekarang ini. Hal itu nantinya sekaligus akan menunjukkan (membuktikan) pernyataan (yang sensasional? Atau, kontroversial?) yang saya buat di dalam kedua bab yang mendahuluinya, yaitu bahwa gereja-gereja  sekarang ini, pada umumnya, sudah jatuh terlalu jauh atau telah menjadi “sarang penyamun”. Dan, para pendeta/gembala di gereja-gereja sekarang ini, pada umumnya, telah menjadi “penyamun-penyamun” terhadap anggota-anggota jemaat mereka.
       Jadi, marilah sekarang kita masuk ke dalam bagian itu, dengan melanjutkan pembacaan Anda ke dalam bab 4 berikut ini.


[1] Donald Guthrie, MTh, PhD, “Yohanes”, dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, Jakarta, 2003), hlm. 302.
[2] George Bloomer, Penyalahgunaan Otoritas Rohani – Lepas dari Segala Macam Penyalahgunaan Otoritas Rohani dalam Gereja, Metanoia, Jakarta, 2004, hal. 68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar